Sebenarnya aku sudah muak terus menerus bertemu dengan rumus dan angka, itu kenapa pada saat mau memasuki dunia perkuliahan aku memilih jurusan sastra yang sama sekali tidak berhubungan dengan mereka. Tapi karena Libra masih duduk di bangku sekolah dasar dan dia masih bertemu dengan pelajaran matematika, dan setiap kali ada pr dia selalu bertanya kepadaku, jadi mau tidak mau aku harus kembali berhadapan dengan hal itu.
Seperti saat ini, jam menunjukkan pukul delapan malam, dan dengan duduk di atas tempat tidurku Libra memintaku membantunya dalam mengerjakan pr matematikanya tentang bilangan prima. Dan untuk kali ini aku begitu berterimakasih kepadanya karena pr matematikanya kali ini berhasil membuatku teralihkan dari kejadian siang tadi. Ya setidaknya untuk malam ini pikiranku tidak terus menerus mengarah ke kejadian itu.
"Jadi, ingat baik-baik bilangan prima itu adalah bilangan yang hanya bisa dibagi satu dan dirinya sendiri. Mengerti?" Jelasku, dan Libra mengangguk mengerti. "Ya sudah, sekarang kerjakan tugasmu. Nanti jika sudah, berikan lagi kepadaku biar aku cek lagi." Dan sekali lagi Libra mengangguk mengerti. Lalu tanpa berpindah dari tempat tidurku dia mulai mengerjakan tugasnya. Bangkit dari tempat tidur, aku melangkah menuju meja belajarku untuk membuka laptop, untuk melanjutkan menulis review esai ku terhadap suatu artikel untuk tugas kuliahku.
"Qila, jadi Ayah itu memang orang jahat, ya?" Pertanyaan Libra itu seketika membuat gerakan jari tanganku di atas keyboard berhenti, dan pikiranku yang tadi penuh dengan kata-kata untuk aku tulis di dalam esaiku seketika menjadi blank.
Menghela nafasku, lalu aku memutar bangku meja belajarku agar menghadapnya, "begini, sebenarnya aku tidak ingin membuatmu menganggapnya sebagai orang jahat, agar kau tidak begitu membencinya seperti yang aku rasakan kepadanya. Tapi berdasarkan kejadian sepuluh tahun lalu dan apa yang kau dengar siang tadi, hal itu membuktikan kalau dia memang orang jahat." Jelasku, yang kemudian membuat Libra terdiam, seperti sedang memikirkan perkataanku tadi. "Hey, sudah tidak usah kau pikirkan terus. Lanjutkan saja mengerjakan tugasnya. Itu harus dikumpulkan besok, bukan?" Libra mengangguk dan akhirnya melanjutkan mengerjakan tugas matematikanya.
Tersenyum kecil, aku kembali memposisikan bangku meja belajarku menghadap layar laptop. Kembali memposisikan jari-jariku di atas keyboard, tapi aku mendapati diriku hanya terdiam menatap lurus ke layar laptop. Pikiranku yang tadi sudah sempat teralihkan dari kejadian siang tadi, sekarang kembali lagi memikirkannya. Jika pikiranku terus saja mengarah ke sana, aku tidak akan bisa fokus dan tugasku ini tidak akan bisa selesai.
Aku pun memejamkan mataku sesaat, berusaha untuk memusatkan pikiran hanya pada tugas kuliahku. Menghembuskan nafas secara perlahan, aku kembali mengingat-ingat apa yang ingin aku ketik tadi dan perlahan-lahan akhirnya aku mulai fokus dengan esaiku.
**
Di pagi harinya, tidak seperti dua hari yang lalu, pagi ini aku dan Libra kembali berangkat berdua. Sekali lagi tidak seperti dua hari yang lalu, suasana di dalam mobil terasa begitu sepi. Libra yang telinganya disumpal dengan headset sedang fokus menatap jalanan, dan diriku yang sedang menyetir begitu fokus menatap jalanan. Walaupun kelihatannya aku begitu fokus menatap ke jalanan di depanku, tapi pikiranku terus saja berkelana mempertanyakan bagaimana Harry sekarang.
Semenjak siang itu aku dan Harry sama sekali tidak melakukan komunikasi apapun. Aku sebenarnya sangat ingin menanyakan kondisinya saat ini, tapi aku justru ragu untuk melakukannya. Lagipula aku yakin dia memang sedang butuh waktu sendiri sekarang.
"Qila, kita telah melewati sekolahku!" Mendengar seruan Libra kontan membuatku menginjak rem, dan alhasil mobilku langsung diteriakki kencangnya suara klakson mobil yang ada di belakang mobilku.
"Bisakah kau berhati-hati!" Teriak seseorang dari dalam sebuah mobil yang melintas di samping mobilku. Aku pun hanya bisa menggumamkan kata maaf kepadanya.
Setelah kembali memfokuskan pikiranku, aku langsung meminggirkan mobil. "Kau turun di sini saja, ya? Sulit jika harus memutar balik lagi."
"Iya tidak apa-apa."
"Maaf ya."
Libra meresponku hanya dengan anggukkan kecil. Setelah dia melepaskan seatbeltnya, Libra segera bergegas turun. Aku terus memperhatikannya yang berlari menuju sekolahnya. Mengalihkan pandanganku, aku pun menyandarkan tubuhku sepenuhnya pada sandaran jok dan menghembuskan nafas, merasa tidak percaya dengan yang baru saja terjadi.
Menatap ke arah jam tanganku, waktu masih menunjukkam pukul 07.45 dan hari ini aku ada kelas jam satu siang, tapi entah kenapa aku sudah begitu siap pergi ke kampus dan juga sudah membawa semua barangku. Entah aku lupa atau bagaimana, atau memang karena saat ini pikiranku sedang terganggu dengan hal lain, tapi yang jelas aku bingung harus kemana sekarang. Malas rasanya jika harus kembali lagi ke rumah. Maksudku, aku sudah setengah jalan. Tapi jika harus ke kampus sekarang untuk apa? Ini masih terlalu pagi, yang ada aku bisa mengering di sana sebelum kelas dimulai.
Ini semua gara-gara kejadian kemarin. Karena hal itu semuanya jadi teralihkan. Rasanya diriku benar-benar tidak bisa fokus pada hal lain. Intinya kemunculan Michael memang telah merubah segalanya.
Tapi akhirnya aku memutuskan untuk melajukan mobilku ke kampus. Aku akan menunggu di perpustakaan fakultas, dan semoga ketika aku sampai di sana perpustakaan sudah buka.
**
Selama kurang lebih lima belas menit aku menunggu di lobby fakultas karena perpustakaan masih belum buka. Setelah melihat tanda pada pintu kaca sudah bertuliskan 'open' aku segera melangkah masuk ke sana dan aku menjadi mahasiswa pertama yang mengisi daftar hadir di sana pada hari ini.
Setelah tanpa sengaja aku menemukan novel karya Dan Brown: 'Origin' pada saat melihat-lihat buku di area rak khusus novel, seketika aku merasa bahagia dan sama sekali tidak merasa bosan selama menunggu hampir tiga jam di sana.
Saat jam menunjukkan pukul 12.30, aku kembali melangkah keluar dari sana. Ketika aku sedang berjalan melewati halaman depan fakultas, di mana terdapat air mancur yang waktu itu dengan sengaja aku menceburkan Harry ke sana, aku melihat Blake yang berjalan dengan begitu terburu-buru menuju ke arah yang berlawanan denganku. Melihat dirinya yang kelihatan cukup panik, aku dengan cepat menahannya ketika aku berpapasan dengannya.
"Blake kau tidak apa-apa?" Blake tampak tertegun menatapku. "Ada apa?" Tanyaku lagi.
"Michael..." Blake mulai bersuara dengan ekspresi wajahnya yang kelihatan cemas. Dan ketika mendengar nama itu disebut membuatku kontan terdiam, dengan sebuah perasaan khawatir yang tiba-tiba muncul. "Michael ditembak oleh seseorang tak di kenal di kantornya, dan saat ini dia sedang berada di rumah sakit."
Deg.
Entah kenapa—walaupun aku begitu membencinya—aku mulai merasa lemas dan merasakan kalau air mata mulai terbendung di mataku.
"Qi?"
"Bisa aku ikut denganmu?" Tanyaku. Blake sempat terdiam sesaat namun akhirnya dia mengangguk. Akhirnya aku dan Blake melangkah dengan cepat menuju parkiran. Karena Blake tidak membawa kendaraan, kami pun pergi ke rumah sakit dengan mobilku.
***
Thank you so much for reading. Sorry for any typos, and dont forget to leave your vomments here! See ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Enemies
FanfictionAquila dan Harry. Jangan kira mereka berdua adalah dua orang yang berteman apalagi bersahabat. Ketika melihat mereka saling berpapasan pasti kalian akan langsung kaget dengan tatapan menyeramkan yang mereka berikan, seakan bersiap untuk membunuh sat...