Pagi hari.
Seorang pria duduk bersila menghadap sebuah meja lipat dalam ruangan indekosnya. Dia sedang mengisap selinting rokok kretek sembari mengerjakan sebuah berkas laporan. Tak lama, ketukan pintu beraturan menghentikan kegiatannya. Dia meletakan pulpennya, meletakan rokoknya pada sebuah asbak, dan bangkit untuk membuka pintu tersebut.
"Eh, Riki? Kapan kamu... sama siapa kamu datang?" Dia kaget mendapati seorang remaja yang masih berumur tiga belas tahun di depan pintunya.
"Baru sampai, Paman. Tadi diantar sama Wak Jali pake motor."
"Memangnya orang tuamu enggak jadi ke sini?" tanyanya sembari melongok ke luar, mencari-cari.
"Enggak, mereka masih ada di Karet. Di sana lagi macet parah. Jadi Wak Jali nganterin aku dulu ke sini. Mungkin sekitar sejam baru sampai."
"Oh.... Ya sudah. Yuk masuk dulu."
Remaja yang bernama Riki tersebut masuk dan duduk di atas tikar anyaman kecil. Sementara pria yang merupakan pamannya mematikan rokok, lalu mengambil sebuah kantong kresek di atas lemari. Dia meletakan kantong itu di tengah tikar, kemudian mengeluarkan satu botol besar air mineral dan berbagai macam makanan ringan dari dalamnya.
"Nih dimakan. Maaf ya hanya ini aja, Paman lagi kere; kekurangan receh."
Riki tertawa kecil. "Enggak apa-apa. Lagi pula Ibu juga bawa kue buat Paman." Dia mengambil bungkusan yang berisi kacang tanah, "Oh ya, bukannya Paman tinggal di mes polisi?"
"Mes lagi direnovasi sekarang. Kebetulan yang kena kamar Paman sama sekitarnya. Jadi dialihkan dulu di sini," jelasnya.
"Gitu."
Selanjutnya mereka bercengkerama di sana sambil memakan kudapan sederhana yang disediakan. Saling menceritakan berbagai macam cerita yang menarik untuk dibahas. Dari keseharian, pengalaman, hingga berita yang baru-baru ini sedang ramai.
Hingga kemudian, seseorang mengetuk pintu. Karena pintu dalam keadaan terbuka, mereka bisa langsung tahu siapa yang ada di sana. Seorang pria dalam seragam polisi lalu lintas.
"Almura, kau harus pergi ke kantor sekarang."
"Hah?" Pamannya Riki kaget, "Bukannya aku sudah minta ijin buat cuti sebelumnya?"
Polisi itu menjawab, "Entahlah, tadi Pak Prono bilang semua polisi harus ke kantor. Ada keadaan darurat katanya."
"Haduh, kenapa sih? Padahal kakakku mau datang," ucap Almura.
"Oh ya, tadi juga Bi Nisa bilang ada telpon di bawah."
"Siapa yang menelpon yah? Apa mungkin orang tuamu, Riki?" gumamnya sambil menatap Riki yang sedang membuka kulit kacang.
Polisi itu menjawab, "Enggak kayanya, teleponnya dari laki-laki katanya. Dia bilang perlu bicara sama kamu."
"Siapa ya?" Dia merenung sejenak. "Ya sudah, aku akan ke sana."
"Oke, Al. Aku mau ke kamar dulu. Mau mengambil dompetku."
"Dasar Hendri. Pelupa mulu."
Almura bertanya pada Riki jika tidak keberatan untuk ditinggal sendiri. Riki mengangkat bahunya, tak mempermasalahkan. Dia lalu bangkit dan beranjak keluar.
Almura berjalan di balkon indekos yang membentuk seperti lorong dengan pagar bata sebagai pembatasnya. Dari jauh, dia bisa melihat beberapa gedung tinggi yang sedang dibangun; untuk perusahaan-perusahaan yang memilikinya. Namun selain itu, gunungan atap pemukiman rumah masyarakat kelas menengah-bawah yang padat adalah pemandangan yang sering ia lihat. Ia menyugingkan sedikit senyuman.
Sudah lima tahun dia tinggal di sini. Setelah kejadian yang tak ingin ia ingat lagi, dia tinggal bersama keluarga kakak perempuannya di Bogor. Namun, karena muak menjadi pengangguran selama satu tahun, dia pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dia mendapat pekerjaan sebagai pegawai di sebuah kantor pos. Dua tahun bekerja, dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya sebagai polisi; profesi yang dia impikan sejak kecil. Beruntung saat itu terdapat pembukaan lowongan besar-besaran dari Kepolisian. Almura berhasil masuk meski ditugaskan ke satuan lalu litas.
Tiba-tiba, telinganya menangkap suara. Itu seperti jeritan anak perempuan dari jauh. Terus-menerus menjerit tak berhenti. Di merasa merinding secara tiba-tiba. Seakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, dia berusaha mengabaikannya. Mungkin saja anak perempuan itu bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya. Ia tertawa pelan.
Saat dia mencapai tangga untuk turun, jeritan itu tiba-tiba berhenti.
***
"Bi, ada telepon yah?"
"Iya, buruan! Udah dari tadi yang nelepon nunggu."
Almura segera masuk ke dalam ruang tamu rumah pemilik indekos dan bergegas menemui Ibu Nisa yang sedang memegang telepon genggam.
"Almura, bibi mau nyapu di depan. Jangan lupa kalau udah, simpan di meja saja."
"Oke, Bi."
Ibu Nisa kemudian memberikan Almura telepon genggamnya dan melangkah keluar rumah.
"Halo?"
Tak ada jawaban. Hanya hentakan kaki dan engahan napas seakan-akan sang penelpon sedang dalam keadaan berlari.
"Halo? Apa ada orang di sana?" Almura mencoba berkomunikasi, meski tampaknya tak dapat diterima oleh sang penelpon.
"Shit!"
Makian dari bahasa Inggris tersebut mengagetkan Almura. Suaranya seperti berada jauh dari telepon sehingga dia rasa makian tersebut bukan ditunjukan untuk dirinya. Meski begitu, rasanya menyebalkan mendengarnya. Terlebih jika itu hal yang pertama kali didengar dari telepon.
"Kalau enggak mau bicara, lebih baik jangan menelepon saya!" ucap Almura.
Ketika dia hendak memutuskan telepon tersebut, tiba-tiba orang dari telepon tersebut berteriak, "Almura! Aku tidak punya waktu untuk berbicara. Jangan pergi dari tempatmu dan jag-Brengsek!"
Terdengar suara seperti letusan senjata api. Saking kerasnya, Almura sampai menjauhkan teleponnya dari telinganya. Sambungan komunikasi diputus oleh pihak seberang tanpa izinnya.
Almura tak mampu mengolah apa yang terjadi dalam pikirannya. Nada suara orang tersebut agak tidak asing di telinganya. Dia hampir dapat menggambarkan siapa orangnya, tetapi bunyi bising dari telepon tadi mengaburkan ingatannya. Siapa orang ini? Ada kepentingan apa yang dia perlu lakukan pada dirinya?
Begitu Almura meletakan telepon genggam, dia dikagetkan dengan suara Bu Nisa dari luar. Pandangan melalui jendela, ibu itu sedang menahan pintu dan memukulkan sapu ke seseorang yang berada di luar gerbang. Dia segera keluar untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Bibi, ada apa?"
"Almura, ada gembel yang memaksa masuk nih," ucapnya sambil menoleh ke belakang.
Tiba-tiba, pintu gerbang teralis besi itu didorong keras hingga tubuh senja Ibu Nisa terjatuh ke belakang. Seorang pria berpakaian compang-camping masuk. Tanpa terduga, pria itu melompat ke arah Ibu Nisa dan menggigit lehernya.
Almura tercengang saat melihat kejadian itu. Pria itu dengan keji merobek kulit dan daging leher. Ibu Nisa yang awalnya menjerit dan melawan mulai tak bergerak lagi. Almura hanya bisa mematung tak percaya. Wajahnya penuh dengan kengerian dan ketakutan.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk pria itu terganggu oleh kehadiran Almura. Keadaan muka dan mulut yang berlumuran darah tak asing di mata. Dia masih mengingatnya, mengingat apa yang dia ingin lupakan selamanya. Sepertinya benar dengan kekhawatiran Arhan waktu itu. Kejadian itu terulang kembali di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biorisiko: Kekacauan di Jawa
ActionEnam tahun setelah kejadian yang mengerikan di kota Minneapolis, semua orang kembali ke tempat mereka dengan aman dan selamat. Memperjuangkan kesejahteraan mereka masing-masing pasca musibah. Menikmati kebebasan dari rasa takut, panik, dan ancaman y...