Jam telah menunjukan pukul sembilan. Edgi berada di kasur yang terkomposisi oleh pegas besi dan busa, menatap kosong ke depan. Dalam posisi menyamping, di hadapannya terdapat Vivi yang tertidur pulas. Edgi awalnya hanya memikirkan banyak hal. Mulai dari ibunya, Pak Riman, jam, motel ini, suhu dingin, kecoak, kelompok Arhan, sampai bagaimana bisa wabah zombi terjadi. Kemudian benaknya menyempit ke arah Vivi.
Vivi yang malang. Kehilangan kedua orang tua yang selalu menjadi naungannya. Apalagi dia tahu tentang latar belakang Vivi yang cukup kelam. Seorang anak lahir di luar pernikahan yang sah. Ibunya, Bu Maliyati, telah mengalami laka susila dengan seorang pemuda. Kehamilan menjadi akibat yang tak bisa terhindarkan. Pemuda itu, yang bisa Edgi sebut sebagai bajingan, menghilang entah ke mana. Bu Maliyati dan Vivi semakin terpuruk ditambah tak ada pengakuan dan diasingkan oleh keluarganya.
Sampai suatu hari, Pak Toro, simpati kepada mereka dan mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga. Vivi cukup bahagia dalam keadaan waktu itu. Terlebih setelah menjadi anak tiri dari orang yang sangat dihormati di kampung mereka, perundungan yang dialami Vivi makin memudar. Namun sekarang, dia sendirian. Siapa yang akan menjadi pelindungnya kelak setibanya di tempat aman?
Wajah pucat Vivi mulai mengembalikan Edgi ke ingatan yang hampir terhapuskan oleh waktu. Ketika itu, dia mulai menaruh rasa padanya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Akibat dari masa purbetas menapaki dunia remaja. Sayangnya meski selalu sekelas dan sekampung, tetapi mereka tak banyak saling berinteraksi secara pribadi. Vivi juga jarang bersosialisasi dan selalu bersama dengan Keisha, sahabat kecilnya. Selama itu, Edgi dan Vivi hanyalah individu yang saling mengenal. Dia berpikir rasanya itu hanyalah sebuah rasa kagum. Sehingga dia mengabaikannya untuk waktu yang lama. Lagipula, banyak sekali gadis sekolah lain yang sempat menarik perhatian Edgi.
Sekarang, entah sebuah keberuntungan atau kenaasan, perasaan itu kembali padanya seperti hantu yang juga membawa rasa bersalah dari masa lampau.
Di saat pikiran Edgi mencamuk, terjadi pemadaman listrik tanpa dia antisipasi. Pandangannya pada Vivi di depannya akhirnya tidak tercapai akibat kekurangan pantulan cahaya. Namun, dia juga tak melakukan apa-apa. Edgi menghadap pada sebuah pilihan apakah dirinya perlu membiarkan matanya berada dalam kegelapan atau menutup menuju alam bawah sadar. Terdapat beberapa detik keheningan dalam hitam, hingga terusir oleh berkas cahaya dari sebuah senter. Itu Arhan. Dia mengarahkan senternya ke sekitarnya dan berakhir ke Edgi. Pantulan cahaya dari kedua bola mata menarik perhatiannya.
"Eh, belum tidur? Apa mimpi buruk?"
Edgi bangkit. "Tidak, Kak. Aku cuma belum bisa tidur saat ini."
"Begitu...," ucapnya sambil mengarahkan senter ke lampu, "sepertinya kita tak akan dapat penerangan di malam hari. PLN sepertinya sudah diserang zombi atau mungkin ditinggalkan. Kuharap orang-orang yang masih selamat bisa melalui ini."
Arhan meletakan senternya sebagai lampu pengganti menerangi area tempat tidur tempat Edgi berada. Dia lalu berjalan menuju Edgi dan duduk di ujung matras.
"Bagaimana rasanya?"
"Apanya"
Arhan terkekeh sejenak, "Maksudku bagaimana rasanya hidup seperti ini? Penuh bahaya; tubuh kita merespon lawan-atau-lari; mempertaruhkan apapun demi keselamatan diri dan orang yang berada di dekatmu; harus bertahan hidup melawan makhluk makhluk di luar sana."
"Entah...," Edgi menghela napasnya. "Kupikir enggak ada yang lebih buruk daripada kehidupanku yang jatuh semenjak ayahku meninggal. Namun, sepertinya aku salah. Sekarang, rasanya begitu sulit dari yang kubayangkan," jawab Edgi.
"Aku juga berada dalam keadaan sepertimu. Meskipun aku terlihat tegar, tetapi sebenarnya aku hampir tak bisa bernapas setiap kali aku berada dalam bahaya. Rasanya semua bahaya berada di sekitar kita dan kita terpaksa untuk menghadapi situasi yang membuat kita memilih pilihan-pilihan yang sulit. Aku selalu membayangkan apa yang terjadi selanjutnya apabila aku gagal dan mati"
KAMU SEDANG MEMBACA
Biorisiko: Kekacauan di Jawa
AcciónEnam tahun setelah kejadian yang mengerikan di kota Minneapolis, semua orang kembali ke tempat mereka dengan aman dan selamat. Memperjuangkan kesejahteraan mereka masing-masing pasca musibah. Menikmati kebebasan dari rasa takut, panik, dan ancaman y...