Bab 7

189 21 0
                                    

Edgi membuka pintu depan rumah dengan perlahan. Dia memastikan terlebih dahulu keamanan jalan. Ada dua zombi yang berkeliaran. Salah satunya berada tepat di depan. Edgi menarik pintu agar zombi itu tak melihatnya. Terdapat rasa tegang ketika makhluk tersebut perlahan menoleh ke arah Edgi. Hanya terhalang oleh pintu, Edgi berdoa agar dirinya tidak ditemukan.

Setelah beberapa detik, zombi itu berbalik dan melangkah tertatih-tatih menuju barat. Satunya lagi mengikutinya di belakang. Edgi menghela napas lega.

"Aman enggak?"

Edgi tersentak. "Ish! Kamu ini! Membuat kaget aja!"

"Maaf," ucap Vivi, "tapi aman, kan?"

"Sebentar dong!" Edgi memeriksa kembali. Dia lalu membuka lebar pintu. "Udah. Ayo keluar!"

Mereka berdua keluar dari rumah tersebut. Hanya dengan beberapa langkah, mereka sampai di jalanan kecil yang hanya memuat satu buah mobil. Mereka segera berlari pelan sembari mencengkram erat senjata mereka. Destinasi mereka adalah rumah Edgi yang tak terlalu jauh dari rumah Vivi. Edgi perlu pergi ke sana untuk memastikan keadaan ibunya. Beruntung, saat ini mereka belum menemukan zombi dalam perjalanan.

Hingga dalam satu waktu, mereka melewati sebuah rumah. Vivi secara tiba-tiba berhenti sejenak. Edgi yang tadi berlari sendirian di depan kembali ke tempat Vivi berada.

"Kenapa berhenti, Vi?"

Vivi tak menjawab. Wajahnya terlihat sedih. Edgi yang penasaran juga ikut memandangi jendela itu. Di balik kaca yang bening, dia bisa melihat dengan jelas bahwa ada figur perempuan yang berdiri di sana. Dia terlihat hanya diam dan memandang kosong ke depan. Pemuda tersebut menjadi merinding ketika menyadari matanya tampak seperti bola putih polos. Edgi kenal gadis itu. Dia adalah Keisha, sahabatnya Vivi.

"Ayo, Vi!" Edgi lalu menarik tangannya. "Aku tahu kalian sahabatan. Tapi dia sudah menjadi Jombi. Kita tak bisa menyelamatkannya lagi."

Vivi segera sadar, "Maaf...."

"Terlalu berbahaya kalau kita diam terus di sini," ucap Edgi, mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Setelah beberapa langkah, Vivi menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Hanya menemukan Keisha sedang menempelkan wajah di kaca jendela. Memandang balik pada Vivi dengan mulut terbuka dan lidah yang terjulur keluar.

Dua menit kemudian, mereka akhirnya sampai di rumah Edgi. Rumah yang penuh kekusaman dan cat merah yang terkelupas. Tanpa halaman depan dan teras serta berukuran kecil. Pintu terlihat tertutup, tetapi terdapat kerusakan pada jendela. Takut terjadi sesuatu yang buruk, dia segera menuju pintu.

"Tidak-tidak-tidak!"

Pintu itu tidak terkunci. Edgi membuka pintu dan langsung masuk. Vivi mengikuti di belakangnya. Mereka menemukan bahwa ruang tamu dalam keadaan berantakan. Kursi-kursi dan meja kayu terbalik dan rusak, gelas-gelas pecah dan berserakan di lantai, hingga bercak-bercak darah yang mengotori lantai keramik. Vivi memaksakan diri untuk mengabaikan, tetapi tetap tak bisa menghilangkan rasa mualnya. Dia langsung keluar untuk memuntahkan sedikit dari sarapan paginya, bubur ayam.

Edgi meletakan kedua tangan di kepalanya. Dia sekarang mengalami stres berat di usia mudanya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul membuatnya semakin depresi. Apakah ibunya selamat? Jika iya, maka di mana dia? Apakah dia mampu meyakinkan dirinya bahwa ibunya sudah meninggal? Atau mungkin lebih buruknya, menjadi zombi juga?

Edgi menendang meja yang terguling di lantai sampai Vivi tersentak. Dia tak sanggup lagi berpikir. Mencoba untuk menenangkan diri, dia mengambil kursi yang terbuat dari plastik dan duduk. Vivi merasa simpati padanya. Pasti sangat berat untuk kehilangan orang tua ketika mereka membutuhkannya saat ini. Vivi sendiri mengalaminya puluhan menit lalu. Namun, berkat Edgi, dia kembali menemukan sedikit harapannya untuk tetap melanjutkan kehidupan. Mungkin sekarang, gilirannya yang harus menghibur dan menyemangati pemuda itu. Vivi berjalan perlahan menuju tempat Edgi.

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang