Bab 10

198 19 1
                                    

Pak Riman membuka bungkusan, lalu membiarkan Edgi dan Vivi untuk mengambil makanan yang mereka inginkan. Serempak keduanya mengambil pisang goreng, sementara dia hanya mendapatkan bakwan yang tersisa. Yah... setidaknya kedua remaja itu bisa makan sesuka hati mereka.

"Pak, orang yang tadi ke mana?" tanya Edgi di sela-sela mengunyah potongan pisang berbalut adonan tepung.

"Ke dalam," jawabnya, "enggak tau dia mau apa. Tapi sudahlah, ayo kita kenyangin perut dulu. Nanti udah itu, kita pergi dari sini."

Edgi heran. "Kenapa kita harus pergi, Pak? Aku rasa, mereka itu enggak jahat. Kalau mereka jahat, kenapa mereka nolong kita dan mencoba mengantar kita ke Monas? Mereka mungkin tersinggung sama kata-kata Bapak tadi."

"Iya sih.... Mungkin mereka bukan penjahat. Tapi aku liat ada orang-orang lain bawa senapan. Kayanya mereka musuhan sama orang-orang itu. Kalau kita sama mereka kayanya akan lebih berbahaya. Jadi, ada baiknya kita tidak ikut campur sama masalah mereka. Bapak rasa kita masih sanggup lawan zombi-zombi di luar tanpa bantuan mereka," jelas Pak Riman. Edgi mengangguk-angguk mengerti dan setuju.

Empat menit menghabiskan gorengan, Pak Riman membuang kantongnya ke semak-semak taman di dekat mobil. Mereka masing-masing mengambil senjata mereka dan keluar dari mobil. Tak melihat siapapun, Pak Riman memimpin jalan untuk menuju gerbang depan. Ketika hampir mencapai sudut gedung kantor Bank Indonesia, Pak Riman berhenti.

"Ada apa, Pak?" tanya Edgi di belakangnya.

Dia segera menarik Edgi dan Vivi menuju celah semak-semak. Menunggu sejenak, ternyata terdapat iring-iringan yang terdiri dari mobil jip dan truk pengangkut barang. Masuk melalui portal yang sudah rusak, mereka melaju kencang menuju gedung kantor.

Tak lama kemudian, terdengar suara satu tembakan. Lalu disusul tembakan lain dan mulai meramaikan kesunyian di tengah wabah zombi. Mobil-mobil itu berhenti di tengah halaman gedung. Orang-orang di dalamnya keluar dan bersembunyi menghindari tembakan, kemudian membalas dengan senapan serbu mereka.

Vivi bertanya, "Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan?"

"Bapak kurang tau...."

Pak Riman hanya bisa berdecak. Halaman depan gedung merupakan tempat yang terbuka. Berlari di sana merupakan aksi bunuh diri. Nanti mereka dikira sebagai musuh dan bisa saja mati konyol dihujami peluru. Memanjat pagar di sekitar gedung juga bukan ide yang baik. Selain tinggi, pagar itu memiliki duri di atasnya. Belum lagi jika nanti tahu-tahunya ada gerombolan zombi di sekitarnya. Itu akan sangat berbahaya. Tak ada pilihan lain, Pak Riman mengajak Edgi dan Vivi kembali ke mobil tadi. Barangkali dia bisa mencari jalan keluar di belakang gedung.

Namun, mereka mendapati seorang pria di sekitar mobil. Menunduk di balik semak agar tidak ketahuan, Pak Riman mengamatinya. Pria itu bukanlah Arhan, Almura, ataupun Hendri. Wajahnya ditutupi oleh kain yang dibuat dari masker dan kacamata hitam beserta topi yang menutupi rambutnya. Dia sedang memeriksa mobil.

Tiba-tiba saja, jendela di atas gedung pecah. Bersamaan dengan itu, seseorang terjun bebas dari ketinggian. Pak Riman segera menutup mulut Vivi yang hampir berteriak ketika melihat tubuh manusia menubruk tanah. Sang pria juga terlihat kaget. Dia memandangi orang yang terjatuh tersebut, lalu menatap jendela tadi jauh di atas. Terdapat keributan di sana. Suara tembakan dan teriakan pertarungan. Mengambil senapan dari orang yang tewas terjatuh, sang pria segera masuk ke pintu samping gedung.

"Vi, pinjam tongkatmu sebentar!" pinta Pak Riman. Vivi segera memberikannya.

Pak Riman kemudian keluar dari persembunyiannya untuk mengikuti sang pria tadi. Area gedung ini sepertinya sudah dikelilingi oleh bahaya. Dia tak tahu lagi jalan alternatif daripada ini. Ini adalah satu-satunya cara. Dia harus menemukan Arhan beserta lainnya supaya dia dan kedua remaja itu dapat keluar dari tempat ini.

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang