Bab 8

178 19 0
                                    

"Astaga! Hampir aja ketabrak!" Hendri kaget setelah menginjak rem.

"Siapa mereka?" tanya Almura.

Arhan mengambil senapan serbunya dan keluar dari mobil MPV mereka. "Entahlah. Tapi kita harus menolong mereka."

Dia lalu menembakan satu-persatu peluru membantu seorang bapak yang bertarung sendiri terhadap gerombolan zombi yang hendak menerkamnya. Almura juga ikut keluar dan melakukan hal yang sama. Di sela-sela tembakan, Arhan menghampiri dua anak muda yang hampir tertabrak oleh Hendri.

"Kalian tidak apa-apa?" Pertanyaan klise diucapkannya. Dia tahu bahwa kedua anak muda itu syok karena hampir tertabrak. "Ikut dengan kami! Masuk ke dalam mobil!"

Keduanya sejenak saling bertatapan, bertanya-tanya dalam diam. Namun sepertinya tak ada pilihan lain selain mempercayai Arhan. Mereka terburu-buru berlari dan masuk ke dalam mobil. Sementara itu, Almura berteriak pada sang bapak yang telah ia bantu tadi dan menyuruhnya untuk ikut masuk ke dalam mobil. Karena kedua anak muda sudah mendahulinya, dia setuju untuk menumpang mobil itu.

"Tancap! Jalan, jalan, jalan!" seru Arhan begitu semuanya masuk.

Hendri segera menarik gigi dan menginjak pedal. Mobil melaju meninggalkan gerombolan zombi yang mengejar mereka. Hampir semua orang menarik napas panjang setelah aksi yang menegangkan tersebut.

Sang bapak mengelap keningnya dengan kerah lengan pakaian. Dengan sedikit kecemasan, dia lalu bertanya pada kedua anak muda tersebut, "Kalian tidak apa-apa? Edgi? Vivi?"

"Kami tidak apa-apa, Pak," jawab Edgi.

Edgi berusaha menyenderkan punggungnya pada kursi penumpang yang sesak. Mereka terburu-buru sekali tadi sehingga kursi penumpang bagian tengah dipenuhi oleh empat orang. Bahkan Vivi meletakan tongkatnya di sampingnya agar tidak mempersempit ruang mereka. Melihat hal tersebut, Almura segera mencoba berpindah ke belakang. Setelah agak kesulitan karena mobil sedang berjalan, dia akhirnya berada di bagian belakang. Sementara itu, Hendri mendapati jalan yang penuh dengan mobil yang berbaris.

"Waduh, macet!"

Bersamaan dengan Almura yang akan duduk, Hendri membelokannya ke sebuah jalan kecil di kirinya. Belokan tajam membuat tubuh Almura bergeser tanpa antisipasi. Sehingga wajahnya menabrak jendela.

"Duh!" gaduhnya, "sial kamu, Hendri!"

Hendri tertawa. "Maaf-maaf."

Sementara itu, Pak Riman mengamati ketiga pria itu. Penampilan, perlengkapan, hingga kelakuan mereka dianalisa sebaik mungkin. Dia senang jika dirinya bersama Edgi dan Vivi diselamatkan, tetapi dia belum yakin bisa mempercayai ketiga pria yang telah menolong mereka.

"Terima kasih telah menolong kami. Tapi, sebenarnya kalian siapa?" tanya Pak Riman

"Euh... kami...," Arhan terlihat agak bingung untuk menjawabnya, "berasal dari Kecamatan Penjaringan. Sedang mencari tempat aman. Di sana zombinya sudah mewabah di seluruh tempat."

Pak Riman mengamati senapan serbu yang mereka bawa. Senjata api tersebut sering digunakan oleh tentara atau polisi brigade. Namun, penampilan mereka tidak terlihat seperti itu. Dia agak takut jika ternyata mereka bertiga adalah perampok atau lebih buruknya, anggota teroris. Pak Riman sering mendengar berita tentang itu dalam radio. Dia lalu menengok ke arah Edgi dan Vivi, menatap khawatir pada mereka.

Mendapati kekhawatiran Pak Riman dari kaca spion belakang, Arhan menoleh dan mencoba mengalihkannya. "Oh ya, kalian semua pergi ke mana?"

Edgi menjawab sebelum Pak Riman sempat. "Kami akan ke Monas. Orang-orang katanya berkumpul di sana."

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang