Bab 2

247 26 2
                                    

Pria itu menatap Almura. Dia tahu itu bukanlah pertanda baik. Namun, dia tak mampu melakukan apapun entah kenapa. Rasa syok membekukan seluruh otot dan sendinya. Pria... atau makhluk itu berdiri. Kemudian dengan geraman dan napas terengah-engah, dia berlari untuk menerjang Almura.

Akan tetapi, sebelum Almura bisa menyadarkan diri untuk mencoba menghindari atau menahan serangan pria itu, tiga bunyi tembakan terdengar keras. Dua lubang di daerah punggung dan satu lubang di kepala. Pria tersebut tumbang di atas tatanan batu di antara alas rumput liar pendek.

"Masih sempat."

Di gerbang pagar, berdiri seorang pria lain dengan jaket kulit hitam. Syok dan kejutan yang luar biasa untuknya tatkala mengetahui siapa yang menolongnya. Pria yang merupakan teman seperjuangan dalam kehidupan lampau. Pria yang waktu itu menghilang.

"A-A-Arh...?" Mulutnya tak mampu berkata-kata.

Penampilannya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Rambutnya dulu tersisir rapi ke samping kiri kini tersisir ke atas. Warna kulitnya yang awalnya putih pucat, sekarang putih mengkilap. Almura bahkan berpikir, apakah dia benar Arhan atau aktor laga yang kebetulan lewat?

Arhan berjalan masuk dan menembakkan pistol ke kepala mayat Ibu Nisa. Sejenak dia menurunkan senjatanya dan menarik napas untuk menyapa Almura.

"Almura. Sudah lama sekali."

Almura hanya bisa mematung tak bisa berkata apa-apa. Di sela-sela keheningan, mereka mulai bisa mendengar teriakan dan jeritan tetangga sebelah. Suara para pria dan wanita bercampur. Berulang-ulang untuk menyadarkan Almura bahwa ini bukanlah mimpi. Bahkan di belakang Arhan, beberapa orang terlihat berlari panik melewati depan rumah indekos.

"Apa ini benar-benar terjadi?"

Arhan hanya menundukan kepala. Dengan wajah yang penuh penyesalan, dia berkata, "Ya... semuanya terjadi...."

"Tidak! Ini tidak mungkin! Kalau begitu, maka... oh tidak! Kak Anisa dalam keadaan bahaya!" Almura bergegas masuk ke dalam rumah, menyambar telepon Ibu Nisa untuk menelepon ibunya Riki.

Arhan kemudian menutup dan mengunci pintu gerbang, memastikan tak ada lagi zombi yang bisa masuk ke dalam. Setelah itu, dia pergi ke tempat Almura. Arhan mendapati pria itu yang sedang mengetik nomor yang diingatnya. Pria berkaos putih itu menempelkan telepon genggam itu pada telinganya.

"Kumohon... Kak Anisa...." Almura berjalan mondar-mandir untuk meringankan kegelisahannya.
Akhirnya, telepon tersambung dan terdengar suara wanita dari seberang sana. Baru saja wanita itu membuat salam sapa, Almura langsung berbicara, "Kak Anisa! Apa kakak baik-baik saja?! Di mana kakak sekarang?! Apa kalian berdua aman?!"

"Ada apa sih, Almura? Bukannya jawab salam, eh malah nyelonong saja."

"Tolong, Kak! Ini darurat!" Almura bernada seperti hampir meneriakinya.

"Kenapa? Apa Riki sudah sampai di sana? Apa dia baik-baik saja?" tanya Anisa.

"Bukan. Bukan tentang Riki. Tolong kasih teleponnya ke suamimu!"

Sejenak terdapat jeda, kemudian telepon berganti menjadi suara pria. Dia bertanya, "Ya. Ada apa, Almura?"

"Mas Tio! Kalian ada dimana?! Apa kalian dekat 'putar balik'?"

"Kami masih di Harmoni. Jalanan lagi agak macet nih, mungkin bakal lama. Memangnya ada apa?" tanyanya balik.

"Putar balik!"

"Lah, ken–"

"Putar balik sekarang!"

Tio diam tak mengerti kenapa Almura begitu bersikeras menyuruhnya. Namun karena suaranya terdengar panik, diapun menyanggupinya.

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang