Bab 6

204 18 3
                                    

Helikopter sudah menjauh dan menghilang dari ujung pandang Almura. Keheningannya kemudian terhenti oleh bunyi klik. Berbalik, Almura mendapati Arhan memandangi kotak yang dibuka olehnya.

"Apa yang kita dapatkan, Han?" Almura berjalan mendekat padanya. Begitupula dengan Hendri.

"Senapan serbu, pistol, dan dua buah granat untuk kita masing-masing," jelasnya.

"Wow-wow!" Hendri membelalak. "Kita dapat ini semua? Apa kita akan perang?"

Almura tertawa mendengar gurauan Hendri. Dia kemudian mengambil sebuah kotak lain yang memiliki tanda senapan dan membukanya. Senapan serbu SCAR berwarna krem itu masih terlihat dalam kondisi baru. Dia mengangkat senapan yang masih belum terpasang magasin.

"Dari mana Piero mendapat barang seperti ini?" tanya Almura.

"Piero mendapat restitusi yang cukup besar dari pengadilan. Sekarang dia menjadi kepala jaringan distribusi senjata api untuk beberapa korporasi dan... teroris di Eropa Timur."

"Hah? Teroris?!" Almura kaget mendengarnya.

"Iya. Pedagang gelap. Tapi tenang saja, dia masih teman kita. Setidaknya...."

Arhan membuka kotak lain yang ternyata berisi tiga set rompi beserta sarung tangan ditambah pisau tarung yang lumayan besar. Perlengkapan itu masing-masing dibagikan pada Almura, Hendri, dan dirinya.

"Apa atasanmu enggak memberimu perlengkapan sampai kamu meminta bantuan Piero?"

"Sebenarnya, Badan Intelijensi Negara sedang dibekukan sekarang. Jadi aku tidak punya bantuan operasional dari lembaga pemerintahan. Namun, misi ini ditugaskan oleh Wakil Presiden sendiri dan aku yang ditunjuk karena pengalamanku dengan wabah zombi ini. Dia sendiri yang merekomendasikan Piero sebagai pemasok ganti." Arhan menutup kotak itu. "Aku sendiri kaget pas tahu Piero itu pedagang senjata api gelap."

Arhan kemudian membuka satu kotak yang agak besar. Ternyata kotak tersebut berisi banyak magasin yang terisi penuh oleh peluru untuk senapan serbu dan pistol mereka. Dia mengambil sebagian dan juga menyuruh Almura dan Hendri mengambilnya juga.

"Euh... Arhan?" ucap Hendri, "aku senang dengan pelengkapan ini. Tapi, kami ini polisi penilang, bukan tentara. Kami bahkan belum pernah melihat senjata kaya gini."

Arhan hanya tertawa renyah. "Aku juga baru pegang mainan kaya gini. Biasanya juga aku pakai pistol. Tapi percayalah, ini semudah memotong kue."

"Ah, aku potong kue aja selalu enggak lurus," gurau Almura.

Pada akhirnya, Arhan harus menjelaskan bagaimana menggunakan senapan serbu tersebut dengan benar kepada mereka berdua. Dia juga menjelaskan bahwa mereka tidak perlu menyetelnya otomatis penuh. Setelah dua kali penjelasan, mereka sudah siap untuk berangkat. Mereka bertiga menuruni gedung melalui tangga dan sampai di lantai terbawah.

Melalui pintu sorong yang masih terbuka, ternyata terdapat zombi-zombi yang berkeliaran di jalan depan gedung. Mereka datang tertarik dengan suara bising dari helikopter tadi. Tak mau mengambil resiko, Arhan menyarankan untuk melewati pintu belakang. Di belakang gedung, terdapat tembok. Mereka bertiga dapat memanjatnya karena tidak terlalu tinggi. Turun dari tembok, mereka memutari sebuah rumah dan kembali ke jalan pedusunan. Tujuan mereka sekarang adalah jalan Gedong Panjang. Berlari santai, mereka tak lama mencapainya.

Keadaan di sekitar jalan raya tersebut berbanding terbalik dengan jalan pedusunan tadi. Di sini banyak mobil yang terbengkalai. Keadaan mobil-mobil itu masih bagus, meski kebanyakan kaca jendela mobil sudah retak ataupun pecah. Terdapat juga beberapa zombi yang berkeliaran dari kejauhan. Arhan berlari menuju sebuah mobil sedan berjendela gelap.

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang