Bab 11

161 15 0
                                    

Suara-suara kaki menghentaki ubin bergema di ruang tangga yang berputar-putar. Almura, Arhan, dan Hendri bergerak turun menuju lantai pertama. Meski kelelahan akibat perkelahian yang sebenarnya tak seimbang antara satu wanita dengan tiga pria, mereka tak melambatkan diri.

Saat berlari, Arhan ingat sesuatu. "Hendri, bukankah kamu seharusnya berada di luar bersama bapak itu? Kamu meninggalkan mereka?"

"Iya. Aku meninggalkan mereka di mobil. Maaf, Arhan," jawab Hendri.

"Ya sudahlah. Aku hanya khawatir pada mereka." Arhan berharap mereka baik-baik saja dan tidak kabur.

Setelah mencapai lantai pertama, mereka menuju lobi. Penglihatan mata menembus pintu dan jendela kaca depan lobi, mereka mendapati baku tembak antara Pak Konandar dan anak buahnya dengan gerombolan orang yang tak dikenal. Tak akan ikut campur dengan urusan para teroris negara tersebut, mereka bertiga segera pergi menuju koridor yang tadi mereka lewati. Namun sayangnya, Perdo sempat mendapati bayangan mereka.

Mereka melompati lantai yang tergenang air tadi dan berlari menuju pintu keluar di samping gedung. Namun, mereka dikejutkan oleh seorang pria bermasker yang berada di depan mereka. Dia juga terlihat kaget. Tangannya lalu menyiapkan senapan serbu AK-47 untuk mengancam.

Tiba-tiba, tongkat bambu dari atas menghantam kepala pria itu tanpa sungkan. Dia pun jatuh tak sadarkan diri. Ternyata, Pak Riman lah yang menggenggam tongkat tersebut. Bapak itu langsung menyuruh Almura, Arhan, dan Hendri untuk cepat.

"Tembak mereka!"

Teriakan seseorang dari lobi mengagetkan mereka semua. Melihat Pedro bersama dua anak buahnya, mereka serentak berlari menuju pintu. Salah satu anak buah berlari sembari membidikan senapan serbunya. Namun tiba-tiba dia terpeleset akibat genangan air di lantai. Akibatnya, pria itu tak sengaja menghalangi Perdo untuk mengejar Arhan.

Setelah keluar dari pintu samping gedung, Arhan dan lainnya menuju mobil yang sedari tadi terparkir di sana. Edgi bersama Vivi terlihat senang mendapati kedatangan mereka. Mereka semua segera masuk ke dalam mobil. Terjadi perubahan posisi. Arhan sekarang menjadi pengemudi.

"Ayo-ayo masuk!" Pak Riman menunggu kedua remaja itu masuk terlebih dahulu dan duduk di belakang.

Bunyi tiga buah letusan nyaring mengagetkan semuanya, lalu disusul dengan erangan kesakitan seseorang. Arhan menoleh ke belakang dan melihat Pak Riman yang terjatuh lemas ke kursi mobil. Dia telah ditembak!

Edgi syok. "Pak Riman!"

Mendapati hal tersebut, Almura yang berada di samping Arhan segera keluar dari mobil. Ternyata ada Perdo di pintu gedung. Almura segera menembakan peluru-peluru sehingga membuat Perdo langsung bersembunyi menghindarinya. Sambil mengawasi, Almura berkata, "Dri, masukan bapak itu ke dalam!"

Hendri menyahut setuju. Dia segera menarik Pak Riman ke dalam mobil. Setelah menutup pintu, dia membuat bapak itu berbaring dan menghadap pada punggung kursi. Sementara Almura kembali masuk ke mobil.

"Ayo kita pergi dari sini!"

Arhan memutar kunci dan menarik gigi sebelum akhirnya melaju cepat untuk pergi dari tempat tersebut. Mereka melewati halaman depan dari gedung kantor Bank Indonesia. Sekelompok orang yang sedang baku tembak dengan kelompok Anarkis mendapati mobil itu. Mereka sontak menembakinya.

"Menunduk!" seru Almura.

Peluru-peluru timbal melayang menuju mereka. Secara mengerikan, jendela-jendela mobil retak. Jendela Arhan bahkan pecah. Dia segera meningkatkan akselerasi untuk menghindari kematian. Mencapai gerbang depan gedung, Arhan menabrakan mobilnya pada beberapa zombi-zombi yang terpancing oleh keributan. Kaca depan kini retak dan bernoda darah akibatnya, tetapi dia tak memedulikannya.

Biorisiko: Kekacauan di JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang