"Jadi, sekarang apa yang kita harus lakukan sekarang?" tanya Hendri.
Mereka semua hening sejenak. Hingga Almura berkata, "Kamu punya pistol?"
"Ya, aku punya. Cuma pelurunya hanya segini." Dia menunjukan pistol revolver kecil, yang sering digunakan hanya untuk peringatan.
"Apa kau punya sesuatu yang bisa kita pakai untuk melawan makhluk-makhluk di luar itu?" tanya Almura ke Arhan.
"Jangan khawatir, aku akan mengurusnya. Kita perlu ke atap gedung tinggi," jawabnya, "Selain itu, ganti pakaian kalian. Lebih baik pakai jaket yang agak tebal untuk menghindari gigitan mereka. Bawa barangmu yang penting di tas."
"Oke, aku akan ke kamarku." Hendri segera bangkit dan pergi keluar.
Arhan beralih pada Almura. "Aku akan menunggu di depan."
***
Sementara itu, di daerah Tamansari. Seorang remaja sedang berbelanja di toko grosir dengan spanduk 'Toko Pak Jino'. Setelah menunggu seorang pria berjas ungu, akhirnya dia bisa memulai transaksi.
"Eh, Edgi. Seperti biasa?" tanya pemilik toko yang bermata sipit dan berumur setengah baya.
"Biasa. Tapi tambah tiga ini, ya?" Sang remaja menunjukan sebungkus besar biskuit, sesaset susu kental manis, dan sebungkus cemilan kerupuk.
"Oke, biar bapak hitung dulu."
Pak Jino mulai menghitung harga barang yang dibeli: selusin telur, delapan bungkus mi instan, satu kilo gula, satu kemasan minyak goreng, satu kotak teh, dan tiga barang tambahan yang tadi disebutkan. Remaja itu membuka bungkus cemilan kerupuk dan memakannya.
"Hei, Gi. Belanja?"
Edgi segera berbalik, mendapati seorang gadis yang sebaya dengannya. Surai hitam bergaya bob panjang dengan poni yang tersisir rapi sempat membuatnya terpana. Namun, dia segera sadar sebelum mempermalukannya.
"Eh, Vivi. Iya nih, disuruh ibuku. Kamu juga? Mau enggak kubantu?" tawarnya.
Dia menolak, "Enggak perlu, cuman beli minyak sama tepung doang, kok."
Gadis itu masuk ke dalam, mencari kedua barang itu. Sementara itu, Pak Jino selesai dengan hitungannya. Dia mengatakan bahwa jumlah harga yang harus Edgi bayar adalah 39.500 rupiah. Edgi membayar dengan uang empat puluh ribu dan mengambil satu lagi cemilan kerupuk agar jumlahnya pas. Tak lama kemudian, Vivi kembali dengan barang yang dicarinya. Dia segera menyerahkannya kepada pemilik toko.
"Enggak jajan, Vi?" tanya Edgi yang kemudian dijawab dengan gelengan.
Tiba-tiba, mereka bertiga kaget mendengar bunyi keras dari sesuatu yang jatuh. Penasaran, Edgi melongok keluar dari toko. Ada kecelakaan. Edgi meletakan kantong belanjaannya yang berat itu di sisi pintu teralis, lalu keluar dari toko.
Di jalanan kecil sekitar sepuluh meter darinya, ada motor yang terbaring di jalan aspal, beserta dua orang di sampingnya. Salah satunya adalah wanita. Dia merangkak ke pria di depannya. Lalu secara tak terduga, dia langsung menggigit leher pria itu. Terkejut dan syok, itulah yang Edgi alami.
"Hei-hei-hei!" Para warga sekitar berdatangan. "Apa yang kamu lakukan?!"
Seorang pria berbaju putih segera menghentikan sang wanita, sementara yang lain mendekati pria yang digigit tersebut. Dia terlihat kejang-kejang akibat kehilangan darah.
"Argh...! Bajingan! Kau menggigitku!" Pria berbaju putih itu langsung mendorong wanita gila itu. Namun, malah mengakibatkan yang lain juga ikut digigit olehnya.
"Apa yang terjadi?" tanya sang pemilik toko yang keluar bersama Vivi. Edgi menunjuk dengan jari.
"Astaga...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Biorisiko: Kekacauan di Jawa
AcciónEnam tahun setelah kejadian yang mengerikan di kota Minneapolis, semua orang kembali ke tempat mereka dengan aman dan selamat. Memperjuangkan kesejahteraan mereka masing-masing pasca musibah. Menikmati kebebasan dari rasa takut, panik, dan ancaman y...