Sembilan : Pecah

10.2K 497 27
                                    

"Honey jangan bercanda, kita belum menikah. Daripada berendam di air panas, gimana kalau kita nonton bioskop saja?"

Itulah kenyataannya. Ternyata pria jelek itu belum menikah. It's mean, perempuan di depannya sekarang adalah tunangannya atau calonnya. Baiklah, memang pantas. Cantik sama tampan—maksudku jelek—pasangan seperti itu 'kan sudah lumrah terjadi. Seharusnya aku tidak seterkejut ini.

"Ta kamu lihat apa sih? Ditanya malah bengong mulu," ucap Gagan kembali menyadarkanku. Sebelum dia menyadari aku sedang memperhatikan Aksara, kualihkan pandanganku ke buku menu di atas meja.

"Gue cuma lagi mikir, kalau sekalian sewa villa gimana? Jarang-jarang 'kan kita liburan," sahutku sambil memainkan jariku. Sudut mataku melihat Aksara sedang melihatku namun aku tidak berani menatapnya. Dia pasti sedang mengejekku. Maksudku, pria berpendidikan dan punya status sosial tinggi sepertinya mana mungkin mampu menahan untuk tidak mencibir kehidupan liarku? Pertama dia memergokiku makan bersama dengan Bima di sini dengan penuh suka meski sudah kututup dengan make up. Kedua, dia kembali memergokiku babak belur habis dihajar Fiska dan teman-temannya. Dan sekarang, dia kembali memergokiku kumpul bareng sama cowok-cowok sangar, bukan cewek. Pasti isi kepalanya penuh dengan pemikiran negatif sekarang!

"Bagus tuh, Ta. Hayo aja, mumpung besok kita semua 'kan kuliah siang. Kalau Bang Gery gimana? Bisa ikut, gak?" tanya Rendi.

Bang Reza terlihat sedang berpikir sebentar lalu mengangguk. "Baiklah. Tapi menurut gue ya, kalau sewa villa buat tidur semalem doang mubazir. Gak asik juga. Gimana kalau malam sabtu aja? Sabtunya libur, 'kan? Jadi sewa villa-nya bisa dua hari. Selain itu setelah berendem kita bisa barbeqyu-an, nonton film malemnya terus—"

"Setuju!" tukas Gagan cepat. Matanya berbinar seperti anak kecil. Harus kuakui, rencana Bang Reza sangat brilian. Hanya saja rencana dia pasti akan menghantarkan badai yang cukup besar.

"Gimana yang lain?"

Rendi menyahut, "Gue sih setuju aja, banget malah."

"Ta? Lo setuju, 'kan?" tanya Bang Reza.

Mereka tahu wajahku memancarkan aura keraguan. "Boleh. Asal jangan ketahuan Fiska, oke?"

"Kenapa?"

Kutatap tajam Rendi seraya mendengus kasar. "Gue sudah muak ya disangka terus perebut cowok orang. Si Fiska 'kan suka sama Bang Reza. Kalau gosip itu sudah menyebar, terus tiba-tiba ada gosip lain gue langsung mengajak Bang Reza seru-seruan di villa, sudah pasti si Fiska bakal ngamuk dan mikir semua ini akal-akalan gue untuk merebut Bang Reza darinya."

Mereka tergelak. "Bener juga. Kalau sampai si Fiska tahu, sudah pasti dia bakal ngamuk."

Bang Reza tertawa masam. "Kalau gini jadinya, gue gak akan melerai perkelahian dia sama si Kenta waktu itu."

"Tapi tunangan lo gak akan marah, Bang?"

Tunangan?

Rupanya saat tadi melamun aku telah melewatkan banyak pembicaraan. "Gak masalah kalau gue ngajak tunangan gue?" jawab Bang Reza setengah berharap. Mungkin dia sungkan karena acara ini pada awalnya aku yang merencanakan.

"Gak masalah, Bang," timpalku sambil mengeluarkan ponsel.

Ken, malam Sabtu sampai minggu lo gak boleh ada acara. Gue, temen-temen gue sama bang Reza bakal ngadain acara nginep di villa sambil berendem air panas. Oke?

— Tata

Tak lama kemudian Kenta membalas.

Siap!

— Kenta

Rendi dan Gagan saling pandang lalu cekikikan kayak orang bego. "Kalau si Fiska ikut kayaknya seru ya."

"Seru dari mana!"

"Serulah. Drama di TV bakal langsung kalah sama drama kalian."

Makanan pun datang. Aku jadi bagian orang yang mengoper makanan karena posisiku dekat dengan meja bar yang mereka gunakan untuk menyimpan makanan setelah diambil dari kichen. Nahas, saat aku mengoper makanan appetizer yang ada lelehan keju di atasnya, impuls tanganku terayun ke atas sambil mengeluarkan jeritan kaget. "Aaaaaaaw!" Piring yang kupegang terbang—maksudku melambung lalu ....

PRAAAAAANG!!!

Piring itu pecah berhamburan di lantai. Suasana ramai di sekelilingku mendadak senyap. Yang terdengar hanya alunan musik dan helaan napas seseorang yang entah dari siapa.

Sontak aku membungkukkan badan untuk mengambil pecahan piring itu. Namun belum sempat aku mengambil satu dari sekian banyak potongan di lantai, seseorang memegang tanganku. "Namanya cassava delight. Ingridient-nya cassava, mozzarella cheese, chili sauce, spring onion. Cara pembuatannya di oven sama piringnya, itu kenapa piring bagian atasnya jadi panas. Seharusnya kamu gak boleh pegang itu ...," kata suara serak dan nge-bass yang tiba-tiba muncul di sampingku.

Aksara Dewa?

Dia tersenyum ... sinis?

"Ma-maaf."

"Ya, itu wajar," Aksara memanggil beberapa waiters termasuk supervisor untuk membereskan pecahan ini. "karena kamu yang memecahkannya, saya gak akan terkejut. Piring yang kamu pecahkan adalah cerminan diri kamu sebagai perempuan. Kacau. Mudah hancur dan ... dungu?"

Lalu dia pun kembali ke tempat duduknya. Melanjutkan ngobrol dengan ... ya Tuhan! Dia telah mengejekku, kenapa aku membiarkannya!?

Aksara DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang