Lima Belas

6.5K 454 28
                                    

"Ngagetin aja, Om," ucapku nyaris terbata-bata. Geram karena kupanggil Om, Aksara menajamkan matanya menakutkan. "Apa? Gak suka? Atau mau dipanggil Kakek?"

Pria 30 tahunan ini mendengus sambil melengos pergi. "Lihat aja nanti, pria tua ini akan membuatmu mengemis suatu saat nanti." Apa maksudnya? Apakah Aksara berencana membuatku jadi gembel!?

"Oke akan gue tunggu, Om Aksa!" semburku marah.

"Stop manggil saya dengan sebutan Om!"

Obrolan kami berdua terhenti ketika penjaga vila datang membawa kunci. Jadi itu alasannya kenapa mereka masih diam di luar. Fikar, Gagan dan Rendi langsung masuk ke dalam sambil ber-yahoooo ria. Aku masih gedek sama sikap tuh pria tua. 30 tahun masih aja kelakuannya kayak bocah. Eh bocah gak sih?

Kalem Tata kalem!

Kenapa aku jadi bingung gini, sih? I mean, gak biasanya aku mikir kelewat lama padahal biasanya aku menganut paham yang lalu biarlah berlalu. So, aku gak perlu tuh mikiran Aksara segala. Gak guna. Mending mikirin tunangannya saja. Eh? Itu ada hubungannya sama Aksa juga, Tata! Jadilah selama 1 menit ini terjadi perang di dalam otakku.

"Heh ngelamun aja," ucap Kenta sambil menepuk bahuku. "Ngelamunin Dewa?"

"Kok manggil dia Dewa?"

"Namanya Aksara Dewa, 'kan? Suka-suka gue dong."

Nah, jadi kenapa hal sepele juga aku ributkan jika menyangkut Aksa?

Tenang. Aku harus tenang. Penyebabnya udah pasti aku kesel banget sama sifat tuh cowok. Setelah mereka semua masuk, aku ikutan masuk ke dalam lalu memperhatikan penjaga vila yang sedang menjelaskan jumlah kamar, perabotan dan juga cara memesan galon kalo habis.

"Surga dunia gue akhirnya dateng," ucap Rendi.

"Yahooo!" seru Fikar dan Gagan secara bersamaan.

"Karena kamarnya cukup gede, perempuan tidur sekamar aja, gimana?" tanya Bang Reza.

"Setuju."

Aku, Kenta dan pacarnya Bang Reza pergi ke kamar untuk menyimpan barang bawaan. Kasurnya emang luas, nyaman dan juga wangi. Kami bertiga melompat lalu tertawa karena alasan yang gak jelas.

"Sesekali kita emang perlu relaksasi," ucap Dewi—pacarnya Bang Reza.

"Betul."

Aku ikutan nyahut, "Ya, mari sejenak lupakan masalah dunia." Nada kalimatku terkesan getir dan Kenta menyadarinya. Dia mengusap rambutku pelan tanpa suara. Jadilah selama beberapa menit ini kami bertiga memandang langit-langit kamar dalam sunyi seakan keheningan sedang berbicara pada kami.

Lamat-lamat pikiranku dipenuhi oleh drama keluargaku yang menyuruhku untuk menjadi seorang munci. Pikiran polosku dulu hanya bisa pasrah karena jika aku gak melakukan itu maka kami akan kelaparan. Actually, aku mencari Ayahku bukan karena aku kangen dan ingin bertemu dengannya—oke itu sebagian alasannya—tapi karena juga ingin mencak-mencak kenapa dia meninggalkan kami. Kenapa dia meninggalkan Ibuku sehingga terpaksa kami terjebak di lumbung dosa. Aku bersumpah, jika aku berhasil menemukan siapa Ayahku, aku akan memukulnya satu kali kemudian memeluknya. Lalu, bagaimana perasaanku saat itu ya? Marahkah? Bahagiakah? Sedihkah?

Sekuat apa pun manusia, pada dasarnya hati manusia itu begitu kuat namun di saat yang bersamaan begitu lemah. Aku mungkin bisa bersikap kuat selama ini, selain udah terlatih, Kenta dan Mba Anggun membantuku. Namun ada kalanya fisik dan jiwaku lelah dengan apa yang namanya kehidupan. Ada sisi di mana aku ingin tenang setenang-tenangnya, melupakan segalanya, hingga akhirnya semua problema yang ada sirna seperti kepulan asap.

Lelahkah aku sekarang?

Kurasa lelah, namun aku masih mampu berdiri dan bersikap masa bodo.

Yang kutakutkan adalah nanti, yang entah kenapa pasti akan terjadi.

Dan, jika saat itu tiba siapa yang akan menolongku?

Kenta?

Mba Anggun?

Ibuku?

Atau ... who?

"Rundown acaranya apa aja, nih? Dimulai dari jam berapa biar gak kebablasan, gue mau tidur soalnya." Kalimat Kenta menyentak lamunanku.

"Dimulai dari jam 5. Ada waktu buat tidur satu jam," sahut Dewa.

"Jam 5 kita bakal ngapain?"

"Di samping vila ada kolam, 'kan? Di atasnya ada kayu memanjang. Nah di sana kita akan perang gebuk air, yang jatuh ke kolam dia yang kalah dan of course ada hukumannya."

"Cowok udah pasti bakal menang."

Aku mendengus. Sorry, aja Om Aksa. Kalah darimu itu sama aja mati. Oke, lebay, but ... persetan!

Tbc.

Vote :)

Aksara DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang