Dua : Sip, Hajar!

20K 564 19
                                    

Bimo benar-benar melakukannya. Setelah hujan reda dia buru-buru menghabiskan kopi dan makanannya. Habis itu, dia langsung mengajakku pulang kemudian menghajarku di rumahku sendiri. Nahas memang. Kepalaku sampai terbentur nakas beberapa kali karena melawan.

Saat itu, mataku sempat mengerjap beberapa kali sambil memandang langit-langit kamar yang terlihat usang dimakan usia. Dia seakan mentertawakanku lalu dengan sadisnya berkata, 'Menyedihkan.' Ya, hidupku memang menyedihkan. Maka dari itu, aku tidak menangis karena akan membuatku terlihat sangat menyedihkan.

Setelah kepergian Bimo aku keluar kamar. Mbak Anggun, peliharaan Ibuku yang usinya hampir mencapai kepala tiga hanya bisa memandangku sayu kemudian memelukku singkat seakan berkata, 'Dunia memang kejam, tapi tenang, aku ada di sini.' Dia orang kedua selain Kenta yang ada dalam list teman hidupku. Sisanya, kubuang ke tempat sampah.

"Pelipismu luka-luka, sayang."

"Iya, mbak. Tenang saja, gak sakit kok."

Mbak Anggun menekan pelipisku sambil terkekeh. Aku seketika menjerit kesakitan sambil menjauhkan tangannya dari pelipisku. "Jangan sok kuat. Sana duduk, mbak mau ngambil dulu kotak P3K di dapur."

Sambil menunggu, aku mendapat SMA dari Kenta. Katanya dia sedang dalam perjalanan ke rumahku dengan motor vespanya. Dasar perempuan aneh. Tengah malam begini bukannya tidur malah pergi ke rumahku yang kuyakin tujuannya hanya satu : tidur.

"Lebamnya sampai biru gini, Ta. Kamu bilang aja sama Jelita buat gak nerima Bimo lagi terus kamu liatin luka kamu, mbak yakin Jelita bakal mengerti." Jelita adalah nama Ibuku.

"Sudahlah, mbak. Luka kecil kok."

"Tapi mbaknya yang gak tega."

"Makasih, mbak. Tata baik-baik aja, kok. Ada mbak juga yang selalu ngobati luka Tata."

Kebaikan mbak Tata memang selalu menyentuh sisi terdalam hatiku. Ucapan serta tindakan nyata yang sering dia berikan padaku adalah bentuk kasih sayang. Aku bersyukur. Di tengah kehidupan kotor seorang wanita yang kesehariannya bergelut dalam kubangan dosa, aku menemukan sosok malaikat tanpa tanda jasa dalam rumah kecil ini.

"Mbak tahu Tata bersyukur banget ada mbak di rumah ini?" kataku sambil menatap mata indahnya lekat.

"Mbak gak tahu, sayang. Dan jangan kasih tahu mbak, nanti mbaknya jadi besar kepala hehe. Sudah kamu diam saja, biar mbak obati lukamu."

8 detik berikutnya, pintu rumah diketuk. Kukirim pesan pada Kenta untuk langsung masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia datang sambil membawa makanan kesukaanku : ice cream. Aku gak tahu ice cream itu makanan atau minuman sebenarnya, tapi, sungguh ice cream yang dia bawa langsung meningkatkan mood-ku seketika.

"Kamu kenapa?" tanya Kenta. "Siapa yang melakukannya!?" lanjutnya tajam. Ah ya, Kenta belum tahu soal Bimo karena aku baru temenan dengannya belum sampai setahun.

"Jatuh dari motor."

Klise.

Jelas alasan itu tidak masuk dalam logika.

"Serius?"

Kenta mempercayainya?

Setelah mbak Anggun mengobati luka lebamku, aku dan Kenta pergi ke kamar sambil mengemut ice cream. Di sana, Kenta langsung membuka laptop lalu menyetel lagu lawas Queen. Kami berdua nampak terhanyut menikmati dentuman lagu walaupun aku yakin pikiran kami berdua sedang melayang-layang memikirkan hal lain.

"Luka ini gue dapat dari Bimo. Dia langganan gue sejak dulu dan entah karena alasan apa dia balik lagi ke Bandung." Kupikir, tak ada alasan untukku menyembunyikan masalah dari Kenta. "Dia selalu bermain kasar, Ken. Mulutnya pun sama kasar seperti tangannya. Sorry gue gak jujur tadi, gue cuma merasa lo gak perlu tahu aja, tapi kalau dipikir kembali, justru pada siapa lagi gue bercerita kalau bukan sama lo? Thanks udah datang, lo datang di saat yang tepat."

Aksara DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang