Tiga puluh tahun betah hidup sendiri dengan status jomblo yang dimiliki. Tak pernah peduli meskipun selalu digelari sebagai bujang lapuk, jomblo ngenes, atau bahkan perjaka tua.
Arkan Mikail ia diberi nama. Lahir 30 tahun silam bersama sang kembaran, Arsan Mikail. Bertolak belakang dengan sang kembaran, Arsan Mikail bahkan sudah membina sebuah rumah tangga bersama seorang wanita yang telah disahkan 3 tahun yang lalu dan telah memiliki seorang anak.
"Kapan kamu akan bawa calon istri ke rumah, Arkan?" sang mama bertanya pada sabtu malam kala itu.
Arkan melirik sang mama dari celah buku yang sedang dibacanya. "Kenapa?"
Sang mama mengernyit. "Kok kenapa? Kamu nggak kepengen nikah, ya? Arsan aja udah punya satu anak, kamu kapan nyusul kembaranmu?"
"Biarin ajalah, Ma. Arsan diturutin. Arkan 'kan beda." Arkan menjawab cuek. Matanya sama sekali tak berpindah dari buku yang sedang dibacanya.
Melihat respon yang diberikan Arkan, membuat sang mama kesal sendiri. Sudah sejak lama beliau menyuruh Arkan mencari pasangan. Namun, Arkan sama sekali tak pernah mau menuruti satu permintaannya tersebut.
"Jangan bilang kalo kamu udah nggak tertarik sama perempuan." Tuduhan sang mama sukses membuat Arkan membeliak tak percaya. Buku di tangannya dilepaskan begitu saja.
"Astaghfirullahal'adzim, Mama. Gitu banget penilaian Mama sama Arkan. Arkan masih normal, Ma. Enak aja bilang Arkan nggak tertarik lagi sama perempuan."
"Lantas, kenapa sampe sekarang kamu belum juga punya pacar? Oke, untuk usia sekarang, Mama nggak mau kamu ngenalin pacar lagi. Tapi Mama mau kamu ngenalin calon istrimu sama Mama dan ayah."
Mendengar hal itu, Arkan semakin membeliak. Matanya yang bulat besar semakin terlihat besar. "Mama. Arkan belum siap nikah, oke? Suatu saat, kalo Arkan siap dan udah mampu, Arkan akan langsung ngenalin calon istri Arkan sama Mama atau ayah."
"Kapan?"
Baik Arkan maupun mama Dinda sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Sang kepala keluarga, ayah Andi muncul kemudian duduk di sebelah sang istri. "Kapan mau bawa calon istrimu? Ayah udah nggak sabar pengen liat kamu nikah."
"Ayah. belum saatnya, Yah." Arkan menjawab.
"Kapan saatnya? Saat Ayah udah masuk dalam liang lahat?"
"Ya Allah, Yah. Jangan bilang gitu." Arkan jadi takut sendiri. Apalagi sejak beberapa hari ini kondisi kesehatan sang ayah semakin memburuk. Usia beliau juga tak lagi muda. Semakin hari ayahnya semakin menua dan rambut putihnya semakin bertambah. Mendengar sang ayah berkata demikian, membuat bulu kuduk Arkan merinding.
"Arkan belum siap, Yah. Gaji Arkan belum cukup untuk menafkahi anak gadis orang," jelas Arkan kemudian.
"Mau gaji kamu naik jadi berapa baru mau menikah? Gaji yang kamu dapatkan udah lebih dari cukup untuk menafkahi empat istri sekaligus. Dasar kamunya aja yang pelit."
Ucapan sang ayah sukses membuat Arkan salah tingkah. Pria itu memberikan cengiran yang tak lagi terlihat lucu. Malah terlihat sangat menyebalkan di mata ayah dan juga mamanya.
"Jangan nyengir-nyengir gitu. Udah tua. Nggak cocok sama kamu," ujar sang ayah.
Ayah Andi mengambil remote tv, menghidupkannya dan tanpa sengaja membuka salah satu channel yang menayangkan sebuah acara tentang pasangan yang ingin menikah, tapi terkendala oleh uang.
"Tuh, orang-orang di luar sana, kepengen nikah, tapi terkendala uang buat nikah. Lah kamu, udah lebih dari cukup malah nggak kepengen nikah-nikah. Buat apa? Mending sumbangin tuh uangmu buat mereka yang kepengen nikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated (Tamat) ✓
ChickLitAdhara Sabila Khairunnisa, merelakan sebagian kebebesannya demi membesarkan kedua anaknya tanpa seorang pendamping. Pada usianya yang ke-26 tahun, dirinya bekerja banting tulang sendirian demi menafkahi seorang putri berusia 9 tahun dan seorang putr...