7

21.8K 2.5K 205
                                    

Malam kian larut, tapi Arkan sama sekali tak dapat melelapkan matanya. Pria itu memutuskan turun ke lantai bawah, menyeduh moccachino panas, kemudian duduk di kursi yang tersedia di ruang makan tanpa pencahayaan. Bukan karena lampu ruang makan sedang rusak atau mati, dia sengaja melakukannya karena dalam ruangan gelap, Arkan bisa fokus memikirkan sesuatu. Selain itu, hemat listrik turut menjadi alasan. Arkan tetap berprilaku sama meskipun rumah yang didiaminya selama ini adalah rumah kedua orangtuanya, bukan rumahnya.

Sejak kejadian dimana Dhara menangis sesegukan di sekolah, Arkan tak pernah bisa berpikir tenang. Ia sendiri tak tahu kenapa. Melihat wajah bersimbah air mata Dhara siang itu, Arkan bisa melihat bahwa banyak beban yang sedang wanita itu tanggung. Apa karena ia seorang single parent? Mengurus dua anak sendirian sembari bekerja bukan sesuatu yang mudah. Arkan bisa memahaminya karena ia sendiri bisa merasakan bagaimana pusingnya menghadapi tingkah anak kecil, meskipun anak tersebut hanyalah keponakannya.

"Kenapa gue malah mikirin dia terus, sih?" Arkan meraup wajahnya menggunakan telapak tangan. Sudah berulang kali ia berusaha mengusir bayangan Dhara dari kepalanya, tetap saja wanita dua anak itu bergentayangan dan mengganggu pikirannya.

Arkan menggelengkan kepalanya. Demi mengusir bayangan Dhara, ia mengambil gelas moccachino yang masih mengepulkan asap, lalu menyeruputnya begitu saja.

Bruush...

Moccachino yang belum berhasil melewati tenggorokan, sontak disemburkan kembali karena hawa panas dari moccachino tersebut seolah akan membakar lidahnya. "Sial. Kenapa panas, sih?" dumelnya kesal.

Bukan salah minuman panas tersebut, melainkan pikiran pria itu sendiri yang sedang melanglang buana, sehingga tak sadar jika minuman yang baru saja diseruputnya tersebut masih mengepulkan asap.

Dhara sukses membuat Arkan kehilangan akal sehat.

Klik.

"Astaghfirullahal'adzim. Kamu ngapain sih, Kan?"

Mama Dinda terkejut luar biasa ketika beliau menyalakan lampu dapur, ternyata ada seseorang di sana. Beruntung Mama Dinda tak punya riwayat penyakit jantung.

"Nggak bisa tidur." Arkan menyahut.

Mama Dinda menggelengkan kepala, lantas melangkah menuju kabinet, mengambil susu, dan menyenduh untuk dirinya sendiri. Beliau juga sama seperti Arkan, tak bisa melelapkan mata dan dengan meminum susu beliau berharap matanya mau diajak bekerjasama.

Usai menyeduh susu, Mama Dinda melangkah ke kursi di sebelah Arkan. Duduk di sana dan menyeruput susu buatannya sedikit demi sedikit. "Kenapa nggak bisa tidur?" tanyanya kemudian.

"Nggak kenapa-kenapa. Nggak bisa tidur aja," sahut Arkan cuek.

Namun, Mama Dinda bukan sembarang wanita yang tidak bisa membaca pikiran anaknya. Meskipun Arkan mengatakan tak ada apa-apa, beliau yakin ada apa-apa.

"Sekarang umurmu udah berapa tahun, Kan?" tanya Mama Dinda.

Pertanyaan yang diajukan sang mama sukses membuat Arkan mengerutkan dahinya, tak mengerti. "30, kenapa?"

"Oh, berarti udah 30 tahun juga Mama membesarkanmu. Luar dan dalammu semua Mama tau."

Arkan spontan mengatupkan pahanya rapat-rapat, kedua matanya melotot, menatap mamanya ngeri. "Mama mengerikan. Arkan ternodai."

Kesal, Mama Dinda menggeplak lengan Arkan cukup keras. "Jangan bercanda. Mama serius."

"Arkan juga serius kali, Ma. Mama itu mengerikan. Dalaman Arkan juga udah diliatin. Mama ngintip Arkan mandi, ya?"

Fated (Tamat) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang