"Lo bener-bener... gi..." Dhara menghentikan keinginannya untuk menyumpahi Arkan begitu sadar bahwa dua anaknya menjadi pendengar setia dari jok belakang. Meskipun kedua anak itu tak cukup paham dengan apa yang sedang dua orang dewasa itu bicarakan, tapi tetap saja Dhara khawatir. Diva kelihatannya saja kecil, tapi anak itu jauh lebih tanggap dari anak kecil pada umumnya.
Sangat pantas jika Dhara tak berhenti mengumpat kasar karena Arkan selalu berhasil memancing amarahnya. Kala itu mereka masih berada di mobil dalam perjalanan menuju rumah keluarga Arkan. Sesuai janjinya, Arkan menjelaskan semua rencana yang ia atur selama ini. Tentang perjodohan yang diatur oleh kedua orangtuanya serta deadline menikah yang telah orangtuanya berikan.
"Gue nggak punya pilihan lain selain minta bantuan elo, Ra."
"Tapi pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, Ar. Sekali lo ngucapin ijab qabul, selamanya kita akan menjadi pasangan suami-istri yang sah. Gue juga mencari seseorang yang bisa menjadi sandaranku. Tapi, nggak dengan cara seperti ini. Jangan-jangan, lo sama Diva sekongkol?" Dhara memberikan delikan tajam pada Arkan dan Diva secara bergantian.
Diva menyengir, sementara Arkan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Ra. Gue juga paham makna pernikahan itu apa. Gue tau kalo menikah itu sesuatu yang sakral dan untuk seumur hidup. Meskipun tujuan gue ngajak lo nikah karena kejar deadline, bukan berarti gue main-main. Gue bakal menanggung segala kebutuhan lo dan anak-anak itu." Arkan berkata terlihat sangat serius. Tak ada ekspresi seperti tengah bercanda seperti biasanya.
Tapi, Dhara tak akan mudah percaya begitu saja. Matanya memicing menatap Arkan. "Lo nggak lagi bercanda, 'kan? Bukannya lo itu manager yang terkenal akan sifat perhitungannya? Yakin lo sanggup dan tulus menanggung semua kebutuhan kami bertiga? Kalo elo emang bener mau nikah sama gue, lo juga harus bisa menerima kedua anak gue."
Arkan mengangkat telapak tangannya setara dengan wajahnya. "Gue janji."
Dhara meraup wajahnya, gusar. Pria itu terlihat sangat serius. Apa iya Dhara harus mengiyakan ajakan menikah pria itu? Setelah lama terdiam sembari berpikir, Dhara memutuskan menerima Arkan.
"Baiklah. Gue terima."
Mendengar jawaban sang mama, Diva mengepalkan telapak tangannya dalam diam dan hatinya bersorak bahagia. Keinginannya untuk menjadikan Arkan sebagai ayahnya akan terlaksana. Ia akan memberikan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kesanggupan sang mama untuk meladeni permintaannya. Diva terharu. Sungguh.
"Terus..." Dhara tak berhenti sampai di sana. "Darimana lo tau tentang wanita yang lo maksud itu?"
"Oh, itu?" sebelah sudut bibir Arkan tersungging. "Apa sih yang gue nggak tau tentang lo? Sebelum gue memutuskan untuk mengajak lo nikah, gue udah stalking elo habis-habisan. Lo pikir, gue mau sembarangan milih calon istri?"
Dhara mengetap bibir. Tubuhnya dicondongkan ke sebelah Arkan, berbisik pelan di telinga pria itu. "Kalo sampe anak gue tau yang sebenarnya, awas."
Usai berkata demikian, Dhara kembali menarik wajah. Punggungnya disandarkan pada sandaran jok mobil yang didudukinya. Ia terdiam, merenung sembari berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Bagaimana tidak? Ia akan dipertemukan dengan orangtua dan keluarga besar pria itu tak lama lagi. Tak sampai dua menit, mobil yang mereka kendarai berbelok ke sebuah rumah cukup mewah.
Arkan turun, berputar mengelilingi depan mobil untuk membukakan Dhara pintu. Ia berusaha menjadi pria romantis. Langkah pertama Dhara menginjakkan kakinya di halaman rumah keluarga Arkan, ia langsung disambut dengan pintu yang terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya muncul di sana dengan senyuman hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated (Tamat) ✓
ChickLitAdhara Sabila Khairunnisa, merelakan sebagian kebebesannya demi membesarkan kedua anaknya tanpa seorang pendamping. Pada usianya yang ke-26 tahun, dirinya bekerja banting tulang sendirian demi menafkahi seorang putri berusia 9 tahun dan seorang putr...