Sorry typo
***
"Harusnya kamu menjelaskan sama keluargaku dulu. Jangan kabur gitu aja. Kesannya kayak kamu nggak sopan sama ayah dan mama."
Tak berhasil mengejar taksi yang ditumpangi Dhara dan dua anaknya, Arkan akhirnya mengikuti wanita itu hingga ke rumah sewanya. Sifat Arkan yang selalu merasa benar, lagi-lagi menyalahkan Dhara dalam perihal masalah yang saat ini mereka hadapi.
Tentu saja limpahan kesalahan yang Arkan bebankan padanya membuat wanita itu geram. Tanpa sadar ia melempari pria itu menggunakan remote AC yang kebetulan sedang dipegangnya.
Akibat lemparan itu, Arkan sampai memekik dan menimbulkan sedikit bekas kebiruan di dahi pria itu.
"Kamu apa-apaan, sih?" kesal Arkan.
Dhara memberinya pelototan tajam. Kedua tangannya berkacak pinggang. "Kamu yang apa-apaan? Ngapain kamu ngikutin kami kembali ke sini. Pulang sana!"
"Ssshh..." Arkan masih mengusap bagian dahinya yang membiru. "Oke, aku pulang, tapi kamu juga harus ikut aku."
"Siapa bilang aku mau ikut pulang ke sana? Pergi sendiri!" tolak Dhara penuh amarah. "Kalo aja dari dulu aku tau keluargamu nggak bisa menerima keadaanku, aku nggak akan mengambil tindakan bodoh untuk nikah sama kamu."
Napas Dhara menderu. Kepalang emosi, ia akan melimpahkan semuanya pada Arkan saat itu juga.
"Kita nikah bukan aras dasar suka sama suka, 'kan? Kamu nikah karena tuntutan keluargamu, dan aku nikah sama kamu karena permintaan anak-anakku. Sekarang, keluargamu nggak suka sama aku, dan Diva mulai memahami keadaan yang terjadi. Aku hanya perlu membuat Davin melupakanmu. Jadi, permintaanku sebulan lalu kembali kuajukan. Aku minta cerai."
Telapak tangan Arkan mengepal. Bukan ini yang ia inginkan. Meskipun benar bahwa dulu mereka menikah bukan atas dasar suka sama suka, tetap saja Arkan tidak bisa berjauhan dari wanita itu. Seolah ada magnet yang membuat Arkan tak bisa terlepas darinya.
Ah, apakah itu disebut cinta?
Arkan terlalu bodoh untuk memahami apa arti cinta yang sebenarnya. Sepanjang remaja dan beranjak setua itu, ia terlalu sibuk untuk membahas persoalan cinta. Dan Dhara adalah perempuan pertama yang berhasil menariknya mendekat.
Desahan napas pria itu terdengar. Kepalan telapak tangannya mengendur. Wanita yang merupakan istrinya itu ditatap dengan wajah penuh permohonan. "Orangtuaku nggak seperti yang kamu bayangkan dalam pikiranmu saat ini. Mereka hanya terlalu terkejut dengan kenyataan yang mereka ketahui. Mereka hanya tengah kecewa pada kita karena telah menyembunyikan Catrina dari mereka. Ayah memang marah, tapi maksud beliau bukan seperti itu. Makanya sekarang, kita kembali ke rumah orangtuaku dan kita jelaskan bersama."
Dhara mendengus. "Kamu yang menceraikanku atau aku yang maju duluan buat nyerein kamu?"
"Raa..." Arkan memelas.
"Oke. Tunggu aja surat panggilan dari pengadilan agama. Apapun yang berusaha kamu jelaskan, aku tetap ingin berpisah sama kamu. Hidup bertiga bersama anak-anakku jauh lebih baik daripada hidup berempat bersama suami seperti kamu." Dhara sama sekali tak memberi kesempatan pada Arkan. Stok kesabarannya telah habis. "Aku mau istirahat. Jadi, silakan keluar dari rumahku sekarang."
"Dhara. Kita bicarakan baik-baik lagi, ya?"
"KELUAR SEKARANG!!"
Napas Dhara naik turun dan terdengar menderu. Matanya melotot tajam berubah kemerahan. Arkan memilih mengalah. Walau apapun, ia tetap mengkhawatirkan keadaan istrinya yang tengah mengandung darah dagingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated (Tamat) ✓
ChickLitAdhara Sabila Khairunnisa, merelakan sebagian kebebesannya demi membesarkan kedua anaknya tanpa seorang pendamping. Pada usianya yang ke-26 tahun, dirinya bekerja banting tulang sendirian demi menafkahi seorang putri berusia 9 tahun dan seorang putr...