25

22.2K 2.6K 191
                                    

Dhara memijit pelipisnya yang berdenyut. Beberapa saat lalu ia dilarikan ke rumah sakit akibat pendarahan yang dialami wanita itu. Akibatnya, ia terpaksa ditahan di rumah sakit dengan selang infus yang menancap di pergelangan tangannya.

Sungguh, ia sama sekali tak pernah menyadari jika di dalam rahimnya telah hadir seorang janin mungil berbentuk gumpalan kecil berusia 4 minggu.

Sebelumnya, Dhara dibuat terkejut ketika Nadia memekik diikuti kecemasan beberapa rekan kerjanya saat melihat darah merembes keluar mengotori celana kerjanya. Setelah itu, Dhara tak tahu apa yang terjadi. Ia kehilangan kesadaran saat perlahan darah dalam tubuhnya menyusut akibat pendarahan yang dialaminya.

"Kenapa bisa nggak sadar kalo kamu lagi hamil?" Arkan bertanya dengan ekspresi datar. Kedua tangannya berdekap di depan dada, duduk di atas sofa yang tersedia di ruang rawat sang istri. Pria itu seolah tak berkeinginan untuk mendekat, sekedar memberikan kekuatan pada sang istri yang sedang dalam kondisi lemah.

Helaan napas Dhara terdengar. Pria itu seolah sedang menyalahkannya dalam kejadian beberapa saat lalu itu. "Kesibukan dan masalah yang kuhadapi akhir-akhir ini membuatku melupakan hal yang satu itu. Aku nggak pernah menghitung kapan tamu bulananku datang. Yang aku tau, beberapa hari sebelum kita ke Dubai, itu terakhir kali tamuku datang berkunjung. Kupikir, itu hal biasa karena aku emang nggak tau tanggal dia datang. Apakah tepat waktu, lebih cepat, atau lambat? Aku nggak tau. Jadi, tanpa kejadian ini, sampai perutku membuncit nantipun aku mungkin nggak bakal sadar kalo aku tengah hamil," jelasnya.

Arkan tetap memasang ekspresi yang sama. "Teledor." Pria itu kemudian berdiri. "Harusnya kamu sadar, setelah apa yang kita lakukan selama ini, terhitung sejak pertama kali di Dubai waktu itu hingga dua malam lalu, kemungkinan benih yang kutanam itu bakal ada yang nyangkut. Kenapa kamu bisa lupa akan hal itu, sih? Dasar teledor."

Dhara memberikan delikan tajam pada Arkan. "Kamu itu bukannya prihatin sama keadaanku, malah makin gencar memakiku. Lagipula, aku cuman pendarahan, bukan keguguran. Kenapa kamu ngomel terus kayak gitu? Kamu mau aku keguguran beneran, ya? Makanya kamu sengaja bikin aku tambah stres dengan terus menyalahkanku gini?" Dhara meringis pelan begitu sakit di bagian perutnya kembali terasa. Penyebabnya adalah Arkan. Pria itu benar-benar kejam. Saat istrinya sedang dalam kondisi buruk seperti itu, bukannya disayangi malah omeli.

Melihat istrinya meringis, Arkan hanya terdiam di tempat. Dekapan tangannya di depan dada sama sekali tak berubah. Tatapannya seolah mengatakan pada Dhara, "emang gue pikirin?"

"Kenapa malah nyalahin aku? Yang salah itu kamu. Kenapa bisa nggak peka kalo Pak Robby itu suka sama kamu dari dulu?"

Astaga pria itu.

Dhara tak kuasa untuk berdebat malam ini. Arkan tak akan pernah berhenti menyalahkannya, meskipun Dhara skarat terbaring di ranjang rumah sakit. "Terserah kamu aja, deh. Aku itu nggak pernah benar di matamu. Saat aku ngadu tentang perlakuan buruk Pak Robby ke aku, kamu malah belain dia. Mungkin karena Pak Robby itu ladang penghasilan kamu, makanya kamu seolah menyalahkanku terus menerus."

"Emang kamu yang salah, kok." Arkan tetap menyalahkannya.

Dhara mendengus. Tubuhnya dimiringkan, lalu memejamkan mata. Meladeni Arkan hanya akan menambah rasa pusing di kepalanya.

Arkan mendesah. Dekapan tangannya terurai. Langkahnya membawa tubuhnya mendekati posisi sang istri yang tengah membelakanginya. Selimut yang sedikit tersingkap, dibetulkan hingga menutupi sebagian tubuh Dhara. Telapak tangannya teralih menyentuh dahi wanita itu, diusap pelan, sebelum mendaratkan satu kecupan singkat di sana. "Tidur yang nyenyak. Aku ke keluar sebentar."

"Hmm." Dhara membalas dengan gumaman singkat.

"Kalo ada apa-apa telpon aku atau panggil perawat. Oke?"

Fated (Tamat) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang