Plakk!!!
Sebuah tamparan keras Catrina terima dari seorang wanita dalam kisaran usia 40-an ketika lagi dan lagi ia menerima keluhan dari pelanggannya soal pelayanan yang tak sesuai dengan harga selangit yang para pelanggan itu berikan.
Sang wanita mucikari tersebut berang. Kerap kali ia memperingatkan Catrina untuk melakukan yang terbaik. Melayani pelanggan dengan pelayanan terbaik.
“Lo sengaja mau bikin pelanggan gue pada kapok dan kabur apa? Ha!? Makin hari, pemasukan gue turun drastis gara-gara elo. Kalo emang lo udah capek kerja gituan, berenti! Keluar dari club gue. Lo pergi, ribuan orang mau mengabdi sama gue.”
“Gue... Nggak bermaksud menolak ajakan pelanggan. Tapi, gue nggak bisa nahan rasa sakit saat permainan baru dimulai. Gue lakuin itu bukan sengaja. Tapi emang gue nggak kuat nahan rasa sakitnya.”
“Alasan basi. Gue udah cukup bersabar buat tetap mertahanin elo di sini. Tapi, nggak untuk kali ini. Gue udah capek. Jadi, mending lo cabut dari sini.” Sang mucikari tersebut mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya, lalu dileparkan tepat ke wajah Catrina. “Itu bayaran terakhir elo. Jangan pernah injakin kaki ke sini lagi.”
Catrina mendesah. Uang dalam amplop yang ia terima dari bosnya tersebut dilihat. Hanya ada lima lembar uang seratus ribu di dalam sana. Otak wanita itu mulai berpikir, “semurah itu gue digaji setelah merelakan auratku terjamah laki-laki siluman? Ck. Kalo Fick masih hidup, hidup gue nggak bakal semenyedihkan ini.”
Sekali lagi desahannya terdengar. Fick jahat, tapi pria itu tak pernah memberinya upah semurah itu. Tak ingin mendebat sang mucikari, Catrina memutuskan pergi dari club malam tersebut.
Kondisi kesehatannya yang semakin menurun, membuat aktivitas seorang Catrina ikut menurun. Perut dan area kewanitaannya masih sering sakit. Itu sebabnya kenapa pelanggannya sering protes terhadap pelayanan yang diberikannya.
Catrina memutuskan pulang. Ia butuh istirahat. Semakin ia memaksa tubuhnya beraktivitas, semakin ia cepat merasa lelah.
***
Sebulan waktu berlalu. Kondisi Diva juga perlahan membaik. Beberapa rekan kerja Dhara menyarankan untuk membawa Diva ke seorang psikiater. Tapi, Dhara tak mau dengan membawa Diva ke psikiater malah semakin membuat anak itu berpikir bahwa semua orang menganggapnya gadis aneh. Sehingga, Dhara memutuskan untuk melakukan terapi sendiri saja di rumah. Menjalin kedekatan bersama Diva merupakan salah satu terapi ampuh yang mampu menyembuhkannya.
Arkan masuk ke dalam kamar. Mereka baru saja selesai menikmati waktu berkumpul bersama anggota keluarga yang lain. Hanya saja, setengah jam yang lalu, Dhara memilih pamit masuk ke kamar terlebih dahulu. Ketika Arkan menyusulnya masuk, wanita itu telah tertidur.
Arkan garuk-garuk kepala. Istrinya telah tertidur. Padahal Arkan ingin meminta satu hal darinya malam ini. Ingin membangunkannya, Arkan tak tega. Saat ia melirik jam di dinding, dahinya berkerut. “Baru setengah delapan lho, Ra. Kamu udah molor aja? Ck.”
Pria itu memutuskan mengambil laptop. Mengerjakan beberapa pekerjaan jauh lebih penting dari meminta hal aneh pada Dhara malam ini.
Lama ia terlarut dalam pekerjaan, Dhara melenguh, lalu terbangun.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya. Matanya memicing, berusaha melihat kelibat sang suami dengan jelas. Sepertinya minus Dhara kembali bertambah. Ia tak sempat memeriksakan kondisi kesehatan matanya sendiri karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan juga masalah anak-anaknya.
“Jam sebelas,” jawab Arkan tanpa mengalihkan sedikitpun wajahnya dari laptop.
Mendengar jawaban Arkan, Dhara membeliak. Wanita itu bergegas turun, berlari hendak keluar dari dalam kamar. Arkan yang memperhatikan dalam diam, akhirnya menegur. “Kenapa, sih?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated (Tamat) ✓
ChickLitAdhara Sabila Khairunnisa, merelakan sebagian kebebesannya demi membesarkan kedua anaknya tanpa seorang pendamping. Pada usianya yang ke-26 tahun, dirinya bekerja banting tulang sendirian demi menafkahi seorang putri berusia 9 tahun dan seorang putr...