16

18K 2.1K 204
                                    

Diva melenguh pelan. Kepalanya terasa berdenyut nyeri. Pengaruh dari obat bius pasca penculikan di sekolah siang tadi masih dapat gadis kecil itu rasakan. Ketika mata bulatnya mulai terbuka, penciumannya kembali berfungsi dengan baik. Ia sadar ternyata dirinya disekap dalam sebuah kamar kecil yang pengap dan kotor. Aroma menyesakkan berasal dari debu tebal membuat gadis kecil itu terbatuk.

Sadar bahwa dirinya diculik, Diva berusaha bangkit sendiri, kemudian duduk memeluk lutut di pojokan kamar pengap tersebut. Ah, lebih tepatnya sebuah gudang. Tak ada yang dapat menebak apa yang sedang anak itu pikirkan. Ia sama sekali tak berusaha untuk berteriak meminta pertolongan atau sekedar berusaha mencari cara agar terbebas.

Jika memang benar dari apa yang ia dengar dari pembicaraan mamanya semalam, bahwa ibu kandungnya benar menginginkannya kembali, mungkin dengan cara diculik mereka bisa bertemu kembali.

"Maafin Diva, Ma. Diva nggak bisa menepati janji Diva sama Mama." teringat akan janji yang pernah diucapkan sebelum ia meminta sang mama menikah dengan Arkan, Diva merasa sangat bersalah. Tapi, keinginannya untuk bertemu sang ibu kandung begitu kuat. Jika sejak pertemuan pertamanya kala itu sang mama mengatakan bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya, mungkin Diva tak akan sesedih ini. Ia merasa sangat dikecewakan oleh mama yang telah membesarkannya selama ini.

"Buka pintu ini, Fick." Terdengar suara seorang wanita dari arah luar kamar sekapannya. Diva sontak mengangkat kepala, menatap pintu kamar tersebut dengan harapan bahwa suara wanita itu adalah milik Catrina, ibu kandungnya.

Sementara di luar kamar, tampak Fick tengah beradu mulut dengan Catrina. Wanita pertengahan usia tiga puluhan itu tampak tak terima ketika mengetahui bahwa putri yang tak dianggapnya tersebut disekap dalam sebuah gudang pengap. "Gue nyerahin dia ke elo bukan untuk ditempatkan di gudang kayak gini, Fick. Banyak kamar kosong di sini dan elo milih gudang buat letakin dia? Lo pikir anak gue barang bekas apa?"

"Hey. Anak itu udah lo kasihin ke gue, ya. Gue udah bayarin semua utang lo sama Kino, otomatis tuh anak bebas mau gue apain aja. Dia udah jadi milik gue. Lo nggak berhak ngatur dimana gue harus letakin dia." Fick balas membentak.

"Seenggaknya lo kasih dia tempat yang nyaman. Kalo dia sampe kenapa-napa, siapa juga yang rugi? Elo juga, 'kan? Kalo dia lecet dikit aja, nggak ada yang mau sama dia."

Fick mendengus. Sialnya Catrina berkata benar. Pelanggan di clubnya adalah orang-orang berkelas yang tidak sudi menerima barang lecet meskipun sedikit. Itu sesuai dengan harga selangit yang Fick tawarkan pada mereka.

"Sekarang, lo buka pintu ini, keluarin dia dari dalam sana." Catrina kembali mendesak Fick.

Terganggu akan perkataan Catrina sebelumnya, Fick akhirnya mengalah. Pria itu mengeluarkan kunci gudang tersebut dari dalam saku celana, lantas membuka pintunya. "Keluar lo."

Diva hanya menatap pria itu tanpa ekspresi. Namun, ketika tatapan matanya teralih pada wanita di sebelah pria itu, tatapannya melembut. "Maa..."

Catrina tampak kebingungan. Ia spontan menolehkan kepalanya ke sisi kiri, kanan, dan belakang untuk memastikan apakah Dhara tiba-tiba datang untuk menyelematkan gadis kecil itu. Nyatanya, Catrina tak menemukan kelibat adiknya itu sama sekali. Diva kembali ditatap, sebelah alisnya terangkat, kemudian bertanya datar, "siapa kamu panggil mama?"

Air mata Diva menggenang. Kedua alisnya mengkerut diikuti bibirnya mencebik hendak menangis. "Mamaa..."

Sadar bahwa tatapan anak itu hanya tertuju padanya, pada saat itu juga Catrina terpaku. Ada sedikit perasaan haru ketika putri yang telah ia lahirkan sembilan tahun silam dan sempat ingin dibuang, sekarang memanggilnya 'mama'. Tapi, apakah benar gadis itu itu memanggil dirinya mama?

Fated (Tamat) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang