Rangga dan Dilan Series #2

996 127 7
                                    

"Menjadi diri sendiri, meskipun banyak yang menentang?"

"Iya, benar sekali." Bunda melanjutkannya dengan melangkah ke arah Dilan. Didekapnya dan dibelainya.

"Bun, kalau kita suka sama seseorang nih tapi orang itu tak acuh sama kita, kita tetap usaha?"

Dilan merujuk kepada sosok yang membuatnya mati penasaran. Seseorang yang bukan main puitisnya saat menulis, tapi bukan main pelitnya saat bicara. Rangga Sastrowardoyo. Rangga pendiam, hanya sekali-kali ia berbicara namun pembicaraanya berbobot, tidak seperti teman-teman SMA lainnya.

Hanya satu masalahnya, Rangga tidak bertempat tinggal di Bandung. Akses ke Jakarta cukup mudah ditempuh memang, tapi jarak? Dilan benci jarak. Musuh terbesar Dilan adalah jarak. Tapi ini Rangga, Rangga yang pantas diperjuangkan.

"Terserah Dilan, semua ada di tangan kamu, kan?"

Dilan harus mencari tahu semua tentang Rangga; apakah makanan kesukaannya? apakah lumba-lumba? apakah dia suka naik motor sepertinya? dan tentu saja apakah Rangga akan punya ketertarikan dengannya?

Dilan bukanlah orang yang pantang menyerah, ia panglima sama seperti ayahnya. Bedanya, ia panglima dalam geng motor. Ayahnya seorang TNI, ibunya seorang guru. Lahir di keluarga yang cukup disegani saat ini. Dengan pangkat ayahnya, Dilan berani menentang siapa saja. Masa pemerintahan Presiden Soeharto, mana ada yang berani menentang aparat.

Ibunya juga cukup disegani sebagai seorang guru, kakaknya juga seorang guru dan dua orang lagi sedang berkuliah. Adiknya masih kecil, masih SMP. Dilan sendiri duduk di bangku SMA kelas 2.

"Bunda, satu pertanyaan lagi."

"Apa itu?"

"Kalau mau ke Jakarta untuk seminggu, bunda kasih izin ke Dilan?"

"Buat apa ke Jakarta, sayang?"

"Buat ikutan lomba cipta puisi."

"Bukannya kemarin—"

"Ini lomba baru, lomba yang diadakan penyair muda itu."

"Gunawan Mohammad?"

"Nah, itu dia."

"Kalau tujuannya memang benar itu, bunda izinkan."

Tujuannya memang benar itu. Dilan ingin mengikuti satu lagi lomba di Ibukota, untuk Rangga. Dilan tahu persis Rangga dan hawa dinginnya akan berada di lomba itu.

Terlebih, lombanya bakal diadakam bertahap, peserta akan tinggal di karantina. Bisa melihat Rangga dan mendekatinya? Dilan sudah panas-dingin memikirkannya.

Sebanyak yang ia tahu, Rangga bukanlah tipe orang religius. Puisinya menggambarkan sosok dirinya secara tak langsung. Dilan cukup ahli memaknai sebuah puisi. Rangga seseorang yang suka berpikiran ke depan. Seorang yang tidak suka terikat berlebihan dengan masyarakat. Dan yang paling membuat Dilan tak nyaman, Rangga bukanlah sosok yang mengelu-elukan pemerintah.

Dilan tahu betul, karena puisi Rangga jelas mengkritik pemerintah. Puisinya berhasil menamparnya dan membangunkannya. Mungkin itu yang membuat Dilan tertarik, belum pernah ia menemukan peserta lomba puisi yang seperti ini. Menentang dan tak takut.

Mencoba memahami Rangga sejauh ini adalah hal tersulit yang Dilan alami. Padahal ia sudah puluhan kali memahami perempuan lain dan memacari. Rangga jelas tidak akan akur dengannya, tapi kenapa ia tetap berkukuh untuk mendekatinya?

"Heh, kok melamun kamu."

"Dilan sedang berpikir saja."

"Kalau kamu serius ikut lomba, nanti bunda bilang ke ayah. Biar ayah yang urus supaya kamu lolos tahap awal, ya?"

"Eh, jangan pake bantuan ayah lagi atuh bunda."

"Kenapa? kok tumben kamu ga mau bunda bantu."

Apakah Rangga dibantu saat ia akan ikut lomba? Tentu tidak.

"Dilan mau usaha sendiri."

"Lah, Sinarieun anjeun nampik bantuan indung?"

"Teu nanaon, hoyong usaha nyalira."

"Kumakarep weh."

"Hehehe, abdi hoyong nembongkeun ka jalmi."

"Astaghfirullah, boga budak teh kieu teuing."

Usaha untuk Rangga, usaha untuk bisa bersama Rangga.

Rangga Dilan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang