Mereka berada di tengah suasana yang membuat hati merana. Diyakini tiap hati yang menjadi saksi pun merasa lara. Kali ini benar-benar akan lahir sebuah adegan klasik yang akan berawal dan berakhir dengan air mata.
Mereka masih tetap berdua, mungkin bertiga jikalau kau hitung banyaknya rasa sakit yang hadir saat ini, terlalu banyak hingga mereka mulai yakin rasa sakit adalah seorang.
Bibir Rangga masih basah usai mengumpat Dilan, dan Dilan masih menunduk. Mereka berdiri tidak jauh jaraknya, dua langkah saja.
Rangga, Dilan, dan dinginnya taman kursi yang jika bersentuhan dengan kulit akan luar biasa menusuknya. Rangga, Dilan dan sebuah lampu taman yang meredup mesra, dilema ingin mati atau tetap terjaga bersama.
"Kali ini, aku hanya ingin benar-benar menyelesaikan semuanya," Rangga menambahkan beban lagi. Kali ini suasana semakin berat, mereka berdua menahan beratnya.
Anak laki-laki itu kemudian memegang anak laki-laki lainnya. Di pundak, diremasnya dan bertanya, "jadi apakah ini sebuah akhir?" Diakhiri dengan sebuah senyum yang menandakan sebuah kebingungan. Ada hati yang sedang bimbang.
Tak mungkin juga Dilan langsung menyambar untuk menjawab, ia ingin semuanya berakhir sesuai apa yang hatinya inginkan. Ia ingin memiliki akhir yang bahagia, tentunya, tapi apakah ia pantas?
"Ini jelas sebuah akhir," Dilan menjawab juga pada akhirnya. Diteguknya pelan sisa jawaban yang ingin dia sampaikan tapi ia urungkan.
"Semua ini jelas harus, dan akan berakhir di sini, malam ini. Mungkin besok akan ada cerita baru, masalah baru, dan akhir yang baru. Tapi malam ini, cerita panjang aku, kau, dan rumitnya perjalanan asmara haruslah selesai. Aku tak ingin mengulur waktu lagi, bagiku lima tahun—"
"Enam, sudah genap enam tahun. Tepat semenit yang lalu."
Dilan menggulung lengan jaket kulitnya, benar sudah pukul dua belas lebih satu menit. Hari ini tepat, tepat enam tahun lalu mereka berada di sini.
"Enam tahun sangat lebih dari cukup untuk memutuskan." Dilan mengakhiri kalimatnya.
Mereka sama-sama tersesatnya.
"Jadi, apa jawabannya?" Rangga melangkah mendekati bangku, dia duduk dengan menenggelamkan kepalanya di antara dua lengannya yang melipat.
"Aku, aku rasa aku ingin bersamamu," Dilan ikut mendekati bangku taman, tapi ia tak duduk. Ia membungkuk sedikit untuk bertatapan dengan Rangga.
"Aku ingin melihat apa yang kulihat malam ini di setiap bangun pagiku. Ingin kulihat juga di setiap aku tidur. Aku ingin melihatnya tersenyum saat aku membawakan sarapan ke tempat tidur, melihatnya menangis saat aku harus berpergian, dan ingin melihatnya tertawa saat aku melakukan hal bodoh untuk menghiburnya. Aku ingin suka, duka, berikan aku apapun asal aku melewatinya bersama si pemilik wajah sempurna ini. Rangga, berhenti berlari untuk sementara. Duduk di sampingku dan genggan tanganku. Serius, yuk?" Dilan menadahkan tangan kirinya, penuh harap akan ada tangan yang menggenggamnya.
Rangga meneteskan, dua atau bahkan lebih air mata. Dia sedikit tersenyum, dia lega dan bahagia. Kini ia hanya harus menjawab bersedia dan meraih tangan Dilan. Tapi, kenapa tak kunjung dia lakukan? Apakah ada ragu di hati?
'Rangga, bodoh!' batinnya. Kenapa ia membeku dan tak merespon Dilan?
Kali ini bukan hanya sama tersesatnya, mereka juga sama bodohnya dimabuk cinta.
Tragic Author,
Rangga dan Dilan, Pemberhentian Terakhir (Bagian Dua).
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Dilan Series
RomanceRangga, remaja yang mencinta puisi dengan segenap jiwa bertemu dengan Dilan, remaja pencinta penyair-penyair yang ada di semesta. Lantas kemanakah mereka akan berlabuh? Pulau asmara atau ujung tubir derita?