Dilan tepat berada di depan sebuah pintu yang pasti akan mengubah segalanya. Pertanyaan sebenarnya adalah, haruskah ia membuka pintu tersebut? Membiarkan semesta untuk ikut campur tangan, kali ini. Entahlah. Semua seakan terlalu cepat, baru saja beberapa jam lalu ia bertemu, dan sekarang ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan seorang di balik pintu kayu jati bertuliskan nomor angka tiga digit.
512.
Dia mengetuknya perlahan, kemudian cepat. Mengikuti ritme senada dengan dentuman jantungnya. Gugup rupanya, kaki kirinya diayunkan sesekali. Harap-harap cemas, ia ingin sekali bisa masuk. Tapi mengingat semua yang telah terjadi, bisa melihatnya untuk terakhir kali saja sudah sempurna.
Bunyi halus khas gagang pintu saat hendak terbuka, ia diizinkan masuk. Hanya dalam hitungan detik, mereka berpelukan. Di depan pintu ruang 512, di lorong hotel sunyi dan senyap; ada dua rindu yang sedang bercinta.
Mereka berpelukan terlalu erat, sesekali menarik diri untuk bernafas, dan melanjutkan pelukan mesra itu lagi. Mereka kemudian mengelus pipi satu sama lain, tersenyum bahagia, dan diikuti isak tangis. Rangga menariknya ke dalam, tangannya terasa pas jika menggenggam tangab Dilan. Kemudian dia memeluknya lagi, namun kali ini disertai kecupan lembut di leher bagian kanan.
Dilan meraih wajah Rangga dengan kedua tangannya, meletakkan kedua ibu jarinya ke bibir merah pucat sosok yang sangat ia rindukan, dan berkata "aku ingin kamu," seindah lantunan puja-puja di nyanyian gereja. Seindah suara gemersik rumput di taman luas surga. Rangga mengangguk pelan, menuntun Dilan untuk duduk di atas selimut putih.
"Sebelum itu," Rangga mengambil kedua tangan Dilan lalu meletakkannya di atas kedua kakinya. Mereka saling tatap, "tanpa suara, sebentar saja." Mengangguk, Dilan paham.
Sekitar dua menit mereka saling tatap, kemudian salah satu memecah sunyi. "Kenapa," Dilan, kali ini dia yang bertanya. Lucunya pertanyaan itu adalah dan harus menjadi milik Rangga. Ia sudah memikirkannya semenjak mereka pamit dan berpisah lima tahun lalu. Rangga hanya bisa mengangkat pelan kedua bahunya dan tersenyum tipis. Rangga juga tak lupa mengisyaratkan dia sama tersesatnya dengan Dilan dengan satu atau dua gelengan kepala.
Tanpa perlu ditunda lagi, Dilan meraih bibirnya, dan perlahan mendorongnya ke sisi atas tempat tidur. Menindihnya dengan satu tangan dan yang lain sibuk berusaha membuka kancing kemeja Rangga. Sedangkan Rangga hanya mengeram, entah nikmat atau sesal. Ia menutup matanya, entah nikmat atau kesal.
Sekarang Rangga separuh tak berbusana, hanya celana panjang cokelat dan ikat pinggang separuh terbuka yang tersisa. Namun ada yang berbeda, senyumnya telah sirna dan tentu saja Dilan memperhatikan itu. Dia bergegas menarik diri, meski kancing kemeja birunya sudah terlanjut terlepas.
"Ini sebuah kesalahan," Dilan kemudian meraih tangan Rangga dan mengajaknya untuk duduk kembali, bersama. Mereka duduk bersebelahan sampai kepala Rangga perlahan bersandar ke pundak Dilan. "Kita sebuah kesalahan?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, Dilan meraih bungkus rokok di kantung jaketnya dan sebuah pemantik berbentuk lencana polisi, dan Rangga berdiri di samping tempat tidur. Rangga kemudian menyusuri kolong guna mencari kemejanya, bergegas mengibaskannya dan memakaikannya begitu saja tak terpasang kancingnya. Perlahan Dilan berjalan ke arah balkon kamar, "sebentar."
Dilan asik dengan sebatang rokok dan dinginnya malam yang masuk melalui sela terbuka kemejanya. Rangga asik dengan, entah dengan apa. Mungkin dengan rasa malu, menyesal dan amarah. Sedih, bahagia, dan sepi. Rangga dengan kumpulan perasaan bodohnya.
Waktu menunjukkan tepat tengah malam dan Dilan sudah di dalam kembali, mereka berdua kembali duduk di atas ranjang yang sama. Kali ini dengan lembut, Dilan menyusuri tubuh Rangga. Tangannya pelan menyentuh setiap bagian tubuh lelaki yang selalu akan dia puja. Rangga memejamkan mata kembali, dia merasa ini salah, tapi dia menginginkannya. Lebih dari apapun.
Kini mereka berdua kembali setengah berbusana, Dilan menindih pelan agar tak sakit. Kemudian bibirnya mengait kembali bibir pucat Rangga. Kali ini lebih basah, mungkin karena Rangga membalas ciumannya. Kedua tangan Rangga menempel di punggung Dilan. Dielusnya halus, sesekali diremasnya karena Dilan menggigit pelan bibirnya.
Tangan kiri Dilan memegangi wajah Rangga, dan tangan kanannya berusaha melepas kancing celana. Saat berhasil, dering telpon yang sangat berisik dan mengganggu menjadi tamu tak diundang.
Dilan melepas ciumannya, menghela napas panjang, dan menatap Rangga yang bingung. Dikecupnya pelan dahi Rangga dan bergegas mengangkat teleponnya.
Kamar 512 yang awalnya akan menjadi saksi dua rindu mengadu cinta, kini menjadi saksi betapa tipisnya jarak yang akan dicapai mereka. Dilan melangkah ke kamar mandi untuk mengangkat teleponnya, mengunci pintunya.
Dengan langkah bingung Rangga berusaha mengikutinya dan berdiri di depan pintu. Ia ingin mendengarkan obrolan Dilan, tapi percuma. Pintu kamar mandi terlalu tebal untuk ditembus gelombang suara dari bisikan Dilan. Iya, Dilan berbicara dengan cara berbisik.
Sudah lima menit dia berdiri di depan pintu kamar mandi, akhirnya ia beranikan diri untuk memanggil Dilan. Dilan membuka pintu kamar mandinya, ada air mata di pipinya. Tak mungkin ia cuci muka sebab tak ada bercak bekas air terciprat di wastafel. Dilan menangis, menangis entah berapa lama di kamar mandi.
Kamar 512, kenapa?
Tragic Author,
Rangga dan Dilan Bagian Bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Dilan Series
RomanceRangga, remaja yang mencinta puisi dengan segenap jiwa bertemu dengan Dilan, remaja pencinta penyair-penyair yang ada di semesta. Lantas kemanakah mereka akan berlabuh? Pulau asmara atau ujung tubir derita?