"Kenapa?" tanya Rangga pada pantulan dirinya di cermin kasar pintu kamar mandi. Berdiri sekitar dua kaki dari bangku yang biasa dia duduk saat sedih datang menyapa. Menyandarkan diri ke dinding dingin menghadap pasti ke arah pintu, Rangga menatapnya cemas. Apa yang baru saja dia lalukan tidak patut dibanggakan, dia baru saja merebut seseorang yang sedang menjalin hubungan serius dengan orang lain. Tidak benar-benar merebut, ia hanya berkata, ya.
Bulan-bulan terakhir sangat stabil dan berjalan sesuai perkiraannya, namun berubah total saat Dilan kembali merangkak ke dalam hidupnya. Rangga cukup, sudah cukup sakit hatinya. Tapi kenapa ia tak bisa menampik Dilan? Meninggalkannya seperti dulu demi hati yang kian sakit dan perlu diobati.
Dia menata kembali hidupnya, mendapat gelar sarjana dan memulai usaha mandirinya. Terjun ke dunia bisnis, kopi. Rangga ingin semua orang mencintai kopi sebagaimana dia. Buah hasil usaha sudah mulai terlihat, Rangga di ambang kesuksesan.
Bukan berarti lepas hubungan tak pasti dengan Dilan mengurungnya dalam belenggu kejam asmara. Ia pernah mencoba lagi, tapi hasilnya selalu tak pasti. Bahkan dengan wanita yang ia pikir akan menjadi pendamping hidupnya, Cinta.
Tiga puluh menit lalu dia menjawab telepon dari Dilan, ingin bertemu katanya. Sekarang di ruangan ini, ruang kamar 512, Rangga tersiksa. Tersiksa batinnya akan kepastian yang tak pasti. Apakah ia memang ditakdirkan untuk selalu berada di bayang-bayang Dilan?
Entahlah, Rangga tak percaya kebetulan. Tapi apa yang tadi pagi terjadi, setelah lima tahun lalu, seseorang kembali. Hatinya kembali terisi, yang ia harus hindari hanya tersakiti. De Javu, ia seperti berlari di roda berputar yang terus-menerus bergerak di tempat.
Diraihnya telepon genggam di atas tumpukan bantal putih, "Kenapa?" tanyanya. Ruangan kamar seketika menjadi dingin, Rangga membeku. Dia baru saja bertanya kepada orang yang bahkan tak bisa dipegang ucapannya, Dilan.
Tak ingin mendapatkan jawaban, tapi ia mulai muak dengan ketidakpastian. 'Tunggu, tunggu saja' pikirnya. Tunggu saja sampai dia datang dan minta penjelasannya.
Tiga puluh menit kemudian tak kunjung ada yang mengetuk pintu, cemas dan amarah bersatu. Apa mungkin dia mengurungkan niatnya untuk menemui Rangga? Apa mungkin Rangga terlalu berharap akan jawaban dan malah terjatuh ke lubang penyesalan?
Apa sebenarnya yang Dilan inginkan?
Kali ini dia meraih kembali telepon genggam di saku kantong celana hitamnya. "Sial," ketusnya. Panggilan tak tersambung rupanya. Ini yang paling dia benci dari orang banyak, mereka suka menaruh harapan yang pada akhirnya hanya akan menjadi bohong belaka. Suka berjanji tapi ketika diminta untuk menepati mereka malah lari.
Di ruangan 512, dia benamkan kepalanya ke atas selimut kusut, dan mulai menangis. Rangga, menangis. Iya, keluar air matanya perlahan tapi pasti. Jarang, sangat jarang dia menangis. Entah kenapa hanya karena seseorang tak datang sesuai janji berhasil menyakiti hatinya.
Tiga menit lepas air matanya jatuh, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Tak mungkin Dilan, ini sudah satu jam semenjak waktu perjanjian mereka. Kalaupun itu Dilan, Rangga tak ingin bertemu dengannya. Tapi jika benar itu Dilan dan jika ia mengabaikannya, bukankah sama saja dengan dia membuang kesempatan untuk mendapat kepastian? Dilema. Dilan berhasil membuatnya dilema.
Saat hendak membuka pintu kamarnya, ia berdoa. Rangga jarang sekali percaya dengan keajaiban sebuah doa, tapi kali ini ia memohon kepada semesta; jadikan siapapun yang berdiri di balik pintu itu Dilan. Ia memohon kepada semesta untuk mengakhiri perjalanan melelahkan yang disebut rindu. Sebesar apapun rasa kesalnya, rasa rindu dan rasa ingin mendekap Dilan jauh lebih besar.
Rangga rindu Dilan.
Tragic Author,
Rangga dan Dilan, Bagian Rangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Dilan Series
RomanceRangga, remaja yang mencinta puisi dengan segenap jiwa bertemu dengan Dilan, remaja pencinta penyair-penyair yang ada di semesta. Lantas kemanakah mereka akan berlabuh? Pulau asmara atau ujung tubir derita?