Rangga dan Dilan Series #4

603 99 2
                                    

"Dilan, kamu pindah ke ruangan di lantai 3, nomor 27 pas di sebelah lift."

"Siap pak panitia!"

"Antusias sekali kamu, bapak boleh tau ga ini ada apa?"

"Cuma lagi kasmaran pak."

Senyum lebar, selebar-lebarnya. Dilan sangat senang dipindahkan ke lantai bawah. Lebih dekat dengan kantin, dan tentunya lebih dekat dengan Rangga.

Hari ini akan di adakan upacara penyelesaian babak penyisihan, dari ratusan peserta hanya akan dipilih sepuluh terbaik dan akan dikarantina lagi selama beberapa hari. Paling cepat bisa dua atau tiga hari, paling lama bisa seminggu. Selain upacara akan ada kegiatan jenguk keluarga. Dilan mendapat kabar kalau bunda dan Disa akan datang mewakili seluruh keluarganya.

Tapi itu nanti malam, sekarang masih pagi. Masih ada banyak waktu untuk mencari Rangga dan mengganggunya. Entah apa yang dia pikirkan, Rangga jelas menolaknya. Jelas tidak suka padanya. Kenapa masih mau membuang waktu untuk mencarinya?

Dilan, itulah dia. Tak akan berhenti sampai yang ia mau ada dan memuaskan hati. Benar saja, Dilan tak main-main soal Rangga. Ia membaca puisi dari penyair kesukaan Rangga, hanya untuk membuatnya terkesan.

"Rangga!"

Tak menoleh, tak berbalik. Sepertinya ia bahkan tak ingin mendengar panggilan Dilan. Berjalan terus menjauhi asal suara panggilan itu. Semakin jauh sampai dia lupa kalau ruangan ini berbentuk lingkaran dan hanya ada satu pintu keluar.

Dengan lugas ia berbalik badan, menerobos kumpulan orang termasuk Dilan dan menggapai gagang pintu, sampai-sampai—

"Tunggu dulu, kamu terlihat terburu-buru. Saya mau ajak bicara sebentar"

"Saya tidak mau berbicara dengan kamu."

"Sebentar saja, ayolah!"

"Kenapa memaksa dan berteriak gitu?!"

"Bentar doang!"

Tanpa mereka sadari, kumpulan orang entah itu panitia atau peserta mulai memperhatikan mereka. Dengan ekspresi wajah tak nyaman tentunya.

"Maaf! Maaf ya semua!"

Dilan dengan cepat mencairkan suasana dengan tertawa kecil dan senyum lebar andalannya. Sementara Rangga diam, hanya diam. Mereka saling menatap, begitu terus hingga lima menit. Tak ada yang ingin mengalah. Yang satu menahan pintu agar tak terbuka, yang lain dengan sekuat tenaga berusaha membuka pintu.

Akhirnya keduanya menyerah. Dengan perlahan melangkah jauh dari pintu keluar. Beriringan kembali ke tengah ruangan. Masih diam, tak ada suara.

"Maafkan aku ya, tadi egois."

Dilan lagi-lagi berpikir bahwa senyumnya sudah terlalu manis dan sudah terlalu ampuh untuk segala suasana. Dengan mata berbinar ia tanpa ragu bersuara. Tapi, Rangga bukanlah jenis manusia yang sering ditemuinya. Alih-alih ikut tersenyum dan memafkannya, Rangga justru mendorong Dilan. Memukul bahunya, dan memasang ekspresi terganggu.

"Sudah gila, bodoh dan tak mau mengalah."

"Siapa?"

"Benerkan bodoh."

Dilan terdiam, benar-benar dibuat geram dia.

"Kau sendiri lebih bodoh!"

"Sana liat cermin! Banyak cermin di tiap ujung ruangan!"

"Bersikap seperti yang paling hebat! Siapa rupanya kau!"

Keduanya kembali terdiam. Kali ini tak ada yang memperhatikan memang, tapi entah kenapa suasananya lebih pekat dari sebelumnya. Dilan berpikir apa yang salah dari hubungan mereka, apakah harus melewati tahap saling membenci sebelum saling menyukai? Kalau emang benar, Dilan tak akan kuat. Membenci seseorang akan mudah jika ia tak mengenal dan tak memiliki rasa pada orang itu.

"Yaudah, tak usah sibuk mencari-cari lagi."

"Yaudah."

Keduanya kembali bertukar tatap, kali ini dibumbui rasa benci, sesal dan amarah.

"Kata orang, anak tentara tidak ada yang baik. Ternyata bukan mitos"

Rangga berjalan keluar dari ruangan, menuju tempat yang lebih terbuka. Jauh dari Dilan pikirnya. Yang ia tak tahu Dilan tepat di belakangnya begitu siap ia melangkah keluar dari ruangan, kepalan tangan Dilan mendarat di wajahnya. Rangga memang tidak terjatuh seperti di adegan klise film-film. Tapi berdarah iya, meski tidak banyak.

"Jangan kau sangkut pautkan keluargaku padahal kenal saja tidak!"

Dilan, dengan kepalan tangannya yang ikut terkena darah dari hidung Rangga bergegas meninggalkan Rangga sendiri.

Rangga terdiam, kemudian dia bergegas berlari mengejar Dilan. Mereka bertatap kali ini dengan amarah meluap dan napas terengap. Dilan memperhatikan luka yang ia titipkan di wajah Rangga. Merasa bersalah karena ia baru saja menghancurkan kesempatannya untuk bahagia.

Dua individu yang sifatnya dominan, saling menyimpan rasa dan rahasia. Keduanya peduli akan satu sama lain, tapi luka yang tertanam di masa lalu Rangga begitu dalam. Hidup dalam teror dan ancaman mati, oleh siapa? Oleh ayah Dilan dan teman-temannya.

"Bilang ke ayahmu, salam dari aku. Rangga Sastrowardoyo. Salam dari rakyat, rakyat yang katanya dilindungi tapi hak kami malah dilucuti. Salam brengsek!"

"Nanti beliau datang berkunjung, kenapa kau tak sampaikan langsung padanya?"

Dilan terdiam, menghela napas panjang. Tak mau dan tak tega ia mendaratkan satu lagi hantamam ke wajah Rangga. Memilih berbalik dan berkata,

"Aku tidak pantas menerima kebencianmu, hanya karena aku berbagi darah yang sama dengannya, bukan berarti aku adalah dia. Aku minta maaf atas perbuatan tentara-tentara itu padamu. Tapi kau tidak bisa seenaknya pukul rata setiap keluarga tentara sama brengseknya dengan mereka-mereka itu"

Kemudian untuk kesekian kalinya, ada hening panjang yang mungkin kali ini tak ada berujung.

Rangga dan Dilan akan selesai sampai di sini?

Rangga Dilan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang