Rangga dan Dilan Series #5

520 94 2
                                    

Pertemuan terakhir mereka terjadi di atas panggung, saat Dilan selesai membacakan puisinya dan Rangga berjalan untuk memulai puisinya. Tak ada senyum yang hadir, tak ada kehangatan yang biasanya ikut mampir. Bahkan tak ada dingin, hampa tak ada apa-apa.

Saat Rangga membacakan puisinya, matanya terpaku pada risih gerakan Dilan dan keluarganya. Bukan tanpa alasan, isi puisi yang Rangga bacakan jelas tentang mereka. Rangga selesai, dan hampir tak ada suara gemuruh tepuk tangan. Bisa dihitung beberapa orang saja yang berani bertepuk tangan guna mengapresiasi puisi satire Dilan.

Yang lebih mengejutkan lagi, tak ada dari mereka berdua yang masuk ke babak selanjutnya. Dilan mungkin maklum, tapi Rangga tidak.

"Jadi ini yang namanya Rangga, pahlawan kesiangan. Masih dirangkul pemerintah sudah berani berontak,"

Dilan dan sang ayah menghampiri Rangga yang tengah duduk menyesali kekalahannya.

"Ayah, sudahlah. Lain kali kita bahas ini, gabung sama bunda aja ya. Dilan kangen, ayo!"

"Sebentar. Ayah cuma mau kasih tau, kalau pemberontak gak bakal ada harganya. Sampah,—"

"Permisi saya mau pergi,"

Rangga yang sudah kehilangan tenaga tak berniat melawan atau membantah. Ia mengangguk dan lekas pergi dari hadapan Dilan dan ayahnya.

Dilan hanya bisa menunduk saat Rangga berjalan pelan menjauhinya. Rasa memang masih ada,  dan akan terus ada. Tapi entah bisa ditunjukkannya atau harus ditenggelamkannya.

Saat perlombaan telah selesai dan para peserta yang gugur diarahkan untuk meninggalkan hotel menaiki bus, Dilan menghampiri Rangga. Mereka duduk bersebelahan. Tanpa suara, dua anak remaja duduk berdua. Entah apa yang akan terjadi dengan mereka, entah apa yang telah dipersiapkan semesta untuk mereka. Jujur,  Rangga sudah hilang harap pada Dilan. Dilan demikian, tapi bukannya hilang harapan ada Rangga, lebih dari itu;

Hilang harapnya pada sang kuasa.

Rangga Dilan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang