Hunri menatap tak percaya ke arah Jungkook. "Kau memiliki seorang gadis spesial? Siapa? Beritahu aku! Apa dia berada di sekolah yang sama dengan kita?"
"Ya. Dia berada di sekolah yang sama dengan kita. Dan kau tahu? Ia juga berada di kelas yang sama dengan kita. Bahkan letak tempat duduknya sangat dekat denganku. Bisa dibilang, ia teman semejaku."
Otak Hunri tidak selamban itu untuk mencerna dan menyadari deretan kalimat Jungkook. "Gadis yang kau maksud itu a-"
"Ya, kau."
Hunri terdiam sejenak, tidak tahu harus berekspresi seperti apa. "Jungkook, kau—"
"Aku tidak tahu pasti sejak kapan perasaan semacam ini muncul dalam diriku. Aku sudah lama tidak merasakan ini. Awalnya aku merasa ragu kalau aku memang benar-benar menaruh perasaan padamu. Tapi, aku telah menyadarinya sekarang. Aku bersyukur, aku tidak terlambat untuk menyadari bahwa aku— mencintaimu."
°°°
Hunri menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan telah mengganti seragam sekolahnya dengan setelan piyama berwarna hitam. Gadis itu menghembuskan napas gusarnya. Kedua tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang tampak kelelahan. Pikirannya kusut hanya karena seorang lelaki bernama lengkap Jeon Jungkook. Bagaimana bisa lelaki itu secara tiba-tiba mengungkapkan perasaannya begitu saja tadi?
Tidak. Hunri tidak terbawa perasaan. Tidak boleh. Bisa saja, 'kan, itu termasuk dari salah satu taktik Jungkook? Menurut Hunri, seorang pembunuh mana mungkin memiliki perasaan.
Hunri menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, hingga akhirnya suara getaran ponsel menghentikannya. Ia menoleh ke arah ponselnya yang berada di atas meja nakas dan segera bangkit—duduk di tepi kasur—untuk meraih ponselnya.
Panggilan dari Choonhee.
Sejenak mengerutkan dahinya, namun di detik selanjutnya Hunri pun mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Choonhee. Ada apa?"
"Apa aku mengganggumu?"
"Tidak. Ada hal penting yang ingin kau bicarakan padaku?"
"Ya. Bisa dibilang seperti itu."
"Hm? Hal penting apa itu? Besok ada kuis Matematika?"
"Bukan, Hunri."
"Lalu?"
"Lelaki yang kita temui di halte saat pulang sekolah beberapa hari yang lalu—
Taehyung? Mau apa lelaki itu?
"—dia menjumpaiku tadi. Ia mencarimu dan aku hanya menjawab tidak tahu. Sepertinya ia tidak suka dengan jawabanku, ia menatapku tajam dan mengumpat pelan."
°°°
01.43 AM
Sampai kini Hunri masih belum tertidur. Pikirannya berkecamuk dengan kemungkinan-kemungkinan mengapa Taehyung mencarinya. Apa lelaki itu ingin membunuhnya segera?
Walaupun rasa takut ada dalam dirinya, tapi jika dipikir-pikir lagi untuk apa ia hidup? Biar saja ia terbunuh. Lagipula ia tidak memiliki tujuan apapun lagi untuk hidup. Orangtua yang harusnya ada untuk ia buat bangga akan prestasinya, kini sudah tidak ada. Perusahaan yang harusnya ia pegang untuk kedepannya kini sudah ada yang ingin mengusai. Biarkan saja, Hunri tidak terlalu peduli dengan harta yang orangtuanya tinggalkan itu. Untuk apa itu semua? Harta tidak akan membuat orangtuanya kembali. Malah harta yang ditinggalkan orangtuanya itu membuat nyawanya kini terancam.
Tak terasa lelehan air mata telah menuruni pipinya. Segera ia usap air matanya itu, lalu turun dari kasurnya. Ia mengambil mantel cokelatnya yang tergantung di balik pintu kamarnya dan memakainya. Tak lupa ia membawa dompet untuk membayar taksi yang akan ia tumpangi nantinya dengan uang yang berada di dalam dompet tersebut.
Hunri menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu utama rumahnya. Ia tidak peduli apapun lagi sekarang. Tujuannya satu, menuju apartement Jungkook. Namun saat ia membuka pintu rumahnya, betapa terkejutnya ia karena menjumpai seorang lelaki berdiri tepat di hadapannya sembari tersenyum manis padanya.
"Baru saja aku ingin mengetuk pintunya," ucap lelaki itu.
"K-Kim Tae—hyung?"
"Oh! Kau tahu namaku? Pasti Jungkook yang memberitahukannya," ucap lelaki itu sedikit terkejut. Namun, sejurus kemudian ia merubah raut wajahnya menjadi tersenyum manis kembali. "Hai, akhirnya kita bertemu lagi. Apa kabar?"
"Aku rasa aku tidak cukup baik. Namun, aku siap jika kau ingin membunuhku saat ini juga."
Taehyung tampak terkejut lagi. "Oh, wow. Begitu, ya?" Lelaki itu berjalan masuk, membuat Hunri berjalan mundur. "Sebelum aku membunuhmu, bagaimana jika kita bermain dulu?"
"Tidak bisakah kau langsung membunuhku saja?" tanya Hunri bergetar dengan air mata yang kembali membasahi pipinya. Kakinya terus melangkah mundur seiring Taehyung yang terus melangkah mendekatinya.
"Sst, jangan menangis," bisik Taehyung sembari mengusap lembut pipi Hunri. "Lagipula jika langsung membunuh, mana se—argh!"
Hunri terkejut bukan main melihat lelaki di hadapannya itu kini sudah tergeletak di lantai rumahnya dengan kondisi tak sadarkan diri. Segera ia mengangkat kepalanya dan melihat siapa pelaku yang membuat Taehyung pingsan itu.
"Ayo kita pergi dari sini." Jungkook menarik tangan Hunri dan membawa gadis itu berlari ke mobilnya yang terparkir tepat di depan rumah Hunri.
Dengan cepat mereka masuk ke mobil dan Jungkook pun langsung melajukan mobilnya meninggalkan perkarangan rumah Hunri. Hunri tak mengeluarkan suara apapun. Bisa dibilang, gadis itu sudah pasrah akan apapun yang akan ia hadapi setelah ini.
Awalnya Jungkook membawa mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, namun seiring menjauhnya mereka dari rumah Hunri, lelaki itu membawanya dengan kecepatan normal.
"Hunri,"
Gadis itu hanya diam. Tak berniat menyahut.
Jungkook menghela napas dan membiarkan gadis itu diam dengan pikirannya sendiri.
Tak lama kemudian, mereka sampai di lantai basement gedung apartement Jungkook. Lelaki itu memarkirkan mobilnya dan menoleh ke arah Hunri yang masih diam dengan pandangan kosongnya.
"Ayo turun. Kita ke apartementku. Kau perlu untuk menenangkan diri dulu," ujar Jungkook mengusap pelan puncak kepala Hunri.
°°°
Jungkook membawa dua cangkir berisi teh hijau buatannya mendekati Hunri yang terduduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata.
"Diminum dulu, selagi hangat. Akan membantumu untuk lebih tenang," ucap Jungkook sesaat setelah ia meletakkan cangkirnya di atas meja.
Tenang untuk selamanya.
Hunri membuka matanya, lalu menegakkan punggungnya. Ia menatap Jungkook yang kini sudah duduk di sampingnya. Lelaki itu balas menatapnya sambil tersenyum lembut dengan pandangan sendu. Gadis itu memutuskan kontak mata mereka lebih dulu dan memilih untuk meraih cangkirnya dan menyeruput teh hijaunya perlahan hingga habis setengah. Benar, ini membantunya untuk merasa lebih tenang.
"Kau tidak minum?" tanya Hunri menatap Jungkook yang tidak menyentuh cangkirnya sama sekali.
"Aku senang akhirnya kau mengeluarkan suara," ujar Jungkook dengan senyumnya yang melebar. "Dengar Hunri, jangan melupakanku, ya? Aku harap kita bisa bertemu lagi di kehidupan selanjutnya dengan keadaan yang lebih baik."
Apa katanya? Mengapa Hunri tidak bisa mencerna perkataan lelaki itu dengan baik? Rasanya sesak sekali. Napasnya terputus-putus. Untuk menghirup udara saja rasanya sulit sekali. Hanya senyum manis Jungkook yang dapat gadis itu lihat, sebelum seluruh pandangannya berakhir gelap.
Fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Arrival ✔
FanfictionJeon Jungkook adalah siswa baru di kelas Hunri. Umur pemuda itu sebenarnya sudah mencapai dua puluh empat tahun, tetapi ia memalsukan identitasnya demi menjalankan aksinya. Park Hunri sendiri ialah teman semeja Jungkook, serta orang yang membuat Jun...