11

1K 179 11
                                    

«●»

Malam harinya, Jiyong memarkirkan mobilnya di rumah Lisa. Pria itu merasa kalau ia masih membutuhkan Lisa. Ia membutuhkan Lisa untuk mempertahankan kewarasannya. Ia tidak boleh menyukai Taehyung, karena itu ia membutuhkan Lisa.

Pria itu melangkah masuk kedalam rumah Lisa dan melihat Lisa yang sedang membaca sebuah buku di teras belakang.

"Aku baik-baik saja," ucap Lisa ketika Jiyong hendak mengetuk pintu kayu di sebelah Lisa. Jiyong pikir Lisa sedang sangat serius membaca sampai tidak menyadari kehadirannya. Tapi gadis mana yang bisa serius membaca setelah beberapa jam lalu di beri perlakuan tidak menyenangkan oleh kekasihnya?

Siapapun gadisnya, yang pasti bukan Lisa.

"Maafkan aku," ucap Jiyong yang kemudian menghampiri Lisa dan menaruh kotak bekal tadi siang di meja kecil di sebelah Lisa. "Nasi kepal buatanmu memang yang paling enak, tapi aku tidak menemukan nasi kepal isi wasabi hari ini,"

"Kenapa oppa mengambil sesuatu di tempat sampah?" balas Lisa yang kemudian menutup buku bacaannya. Gadis itu berniat marah lebih lama, namun melihat Jiyong mengembalikan sebuah kotak bekal kosong— setelah siang tadi ia membuang kotak itu— Lisa tidak sanggup untuk bertahan dengan emosinya.

Lisa selalu membenci dirinya yang seperti sekarang, terlalu mudah memaafkan Jiyong. Namun gadis itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika hal kecil yang Jiyong lakukan dapat dengan mudah meluluhkan hatinya.

"Kau sudah membawakannya," jawab Jiyong. "Maafkan aku... Maaf karena aku memperlakukanmu dengan sangat buruk tadi," pinta Jiyong sembari mengulurkan tangannya untuk meraih jemari Lisa.

Berkali-kali Jiyong menyadarkan dirinya sendiri untuk tidak membandingkan gadis pemaaf didepannya dengan orang lain— terutama Taehyung.

Tapi seperti yang pernah Taehyung katakan, semua yang berjalan sesuai dengan keinginan Jiyong justru terasa membosankan untuknya.

Jiyong pikir Lisa akan mengabaikannya semalaman. Jiyong pikir Lisa akan memakinya atau setidaknya memarahinya.

"Aku berhenti mengajar hari ini," ucap Lisa secara tiba-tiba membuat Jiyong langsung membulatkan matanya. "Aku benar-benar marah padamu, oppa. Hanya saja hari ini aku terlalu lelah untuk memakimu atau memukulmu. Jadi untuk kali ini, aku memaafkanmu, begitu saja,"

"Kenapa kau berhenti bekerja? Bukankah kontrakmu di sekolah itu masih 1 tahun lagi?" tanya Jiyong yang kemudian duduk di sebelah Lisa, dengan sebuah meja kecil yang menghalangi kursi mereka.

"Oppa bilang, oppa ingin menikah. Di kontrakku aku tidak di izinkan menikah, aku sudah bicara pada kepala sekolah tapi mereka sudah punya banyak guru yang sudah menikah. Di kontrak kerjaku, aku tidak di izinkan menikah. Kontrak kerjaku hanya tersisa 1 tahun, aku tidak berniat memperpanjangnya dan kalau aku menikah, dalam 1 tahun terakhir itu mungkin aku akan mengambil banyak sekali cuti. Jadi aku berhenti, sebelum kontrakku habis,"

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Jiyong yang langsung merasa bersalah karena Lisa ternyata banyak berkorban untuknya.

"Aku akan tetap datang ke sekolah sampai mereka menemukan penggantiku," jawab Lisa. "Ada beberapa teman yang akan membeli lukisanku, jadi aku akan melukis. Atau belajar menulis? Itu juga menarik. Ada banyak hal yang bisa ku lakukan walaupun aku berhenti mengajar,"

"Maafkan aku-"

"Aku sudah memaafkanmu oppa, hanya saja hari ini aku sangat lelah jadi aku akan pergi tidur sekarang," ucap Lisa yang kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya pada Jiyong. "Bisakah oppa menemaniku malam ini? Aku merasa kesepian akhir-akhir ini,"

Jiyong mengabulkan permintaan Lisa. Ia menemani Lisa tidur, berbaring di sebelah gadis itu dan mengusap lembut rambut Lisa sesekali.

Sialnya, rasa bersalah menjalar di seluruh tubuh Jiyong.

Jiyong merasa bersalah karena membuat Lisa harus berhenti dari pekerjaannya. Jiyong sangat tahu kalau Lisa bukan bekerja hanya untuk mencari uang. Jiyong tahu kalau Lisa bekerja karena bekerja dapat membuatnya bahagia. Tapi untuk dirinya, Lisa justru melepaskan pekerjaannya, melepaskan kegiatan yang membuatnya merasa bahagia.

Jiyong juga merasa bersalah karena sikapnya akhir-akhir ini ia membuat Lisa kesepian. Sikapnya akhir-akhir ini pasti melukai Lisa.

Dan yang lebih membuat Jiyong merasa bersalah adalah kenyataan kalau di setiap usapannya pada rambut Lisa, ia membayangkan Taehyung. Ia membayangkan Singer.

Dengan hati-hati, setelah memastikan Lisa sudah benar-benar tidur, Jiyong mengecup kening gadis itu. Berbisik dan mengatakan kalau ia minta maaf, kemudian bangkit dari baringannya dan berjalan keluar.

Jiyong butuh udara segar. Dadanya terasa sangat sesak karena rasa bersalah. Jiyong melangkahkan kakinya untuk berjalan-jalan disekitaran rumah Lisa sampai ia berdiri didepan gedung teater. Sudah hampir tengah malam, semua orang tentunya sudah pulang, jadi Jiyong melangkah masuk kedalam gedung teater itu dan berjalan ke auditorium tempatnya biasa latihan. Ada 4 auditorium di gedung teater 5 lantai itu dan tim produksi Unchain memakai auditorium paling besar di lantai satu.

Di kegelapan, Jiyong berjalan melewati deretan kursi-kursi penonton. Ia berjalan perlahan menuju panggung dengan berbagai perdebatan dikepalanya. Ia ingin menyalahkan naskah yang membuatnya harus memerankan karakter Walter, namun ia juga tahu dengan pasti kalau benar-benar menyukai Taehyung adalah kesalahannya. Mendalami peran bukan berarti harus benar-benar menyukai lawan mainnya.

Dengan rasa bersalah, Jiyong duduk di salah satu kursi penonton.

Dengan perasaan campur aduk, ia menghela kasar nafasnya.

"Darimana saja?" suara Taehyung tiba-tiba saja terdengar di auditorium gelap itu. "Aku menunggumu disini sejak tadi," lanjut Taehyung membuat Jiyong berdiri dari kursinya dan memastikan kalau itu benar-benar Taehyung. Di bawah cahaya redup dari beberapa lampu di dinding auditorium, Jiyong dapat mengenali Taehyung yang berjalan ke arahnya.

"Kau tahu betapa takutnya aku? Aku benar-benar berharap hyung akan datang. Kau lupa dialogmu? Kau harus mengatakan kalau kau merindukanku, hyung," ucap Taehyung dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tatapan Taehyung itu membuat Jiyong hampir goyah, namun Jiyong masih berusaha bertahan.

Ia sudah punya seorang gadis sempurna yang menunggunya, ia tidak boleh jatuh pada seorang lawan mainnya seperti ini, pikir Jiyong yang sedang berusaha mempertahankan akal sehatnya.

Namun tatapan berharap dari Singer, membuat Walter tidak dapat menolaknya. Dengan perlahan, tanpa mengatakan apapun, Walter berjalan menghampiri Singer.

Dengan perlahan, tanpa mengatakan apapun, masih sama seperti apa yang ada di naskah, Walter mengulurkan tangannya kemudian memeluk Singer.

Dengan perlahan, tanpa mengatakan apapun, Walter mencium Singer.

«●»

Untold StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang