Assalamualaikum.
Belum kelar cerita lain, cerita ini udah meluncur aja ke peredaran😂 maafkan kelabilanku yang tiada tara. Tetep stay nunggu kelanjutan kisah Eneng Bulan sama Bang Biru juga ya guys🙇.
Happy Reading.
Semoga betah di lapak Ri-Nai....
Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan untuk Naila Asyifa, atau yang akrab disapa dengan panggilan Nai.
Nai mondar-mandir sambil memilin ujung bajunya, keringat dingin mengucur satu demi satu di atas pelipisnya.
"Woy Nay, mondar-mandir aja bah kayak setrikaan. Santai napa santai CS. Yang mau kau hadapi itu anak manusia kali, bukan anak monster. Jadi gak bakal nerkam, kalau kau bisa menguasai kelas, amannya itu. Mahasiswa Unimed-nya kita Boy bukan kaleng-kaleng," celetuk seorang pria bertubuh jangkung sambil tertawa renyah.
Pria tersebut bernama Daffa, menjabat sebagai ketua kelompok PPLT di SMA Swasta Darmawangsa. Tepat sekali, pada saat ini Nai tengah menjalani satu fase yang harus dilalui oleh mahasiswa dalam sebuah perkuliahan, yaitu PPL untuk jurusan pendidikan, untuk jurusan non pendidikan biasa disebut dengan istilah magang atau PKL.
Hari ini tepat di minggu kedua, sesuai jadwal di pedoman pelaksanaan PPLT, mahasiswa calon guru sudah berada dalam masa terbimbing, artinya sudah mulai bisa menyampaikan materi di kelas di bawah bimbingan Guru Pamong.
Hal ini lah yang membuat Nai merasa nervous tidak karuan, karena tentu saja ini akan menjadi pengalaman pertama Nai berdiri di depan kelas dengan posisi sebagai guru yang bertugas mengajar, mendidik dan menguasai kelas secara utuh.
Minggu pertama PPL, Nai dan kawan-kawan masih dalam tahap observasi atau mengamati keadaan sekolah, dan mengamati cara guru mengajar di kelas, sehingga pada saat itu mereka belum merasakan kekhawatiran yang berlebih.
"Aku dapet rezeki kelas legend Daf, horor kali suasananya. Pas Pamongku yang masuk aja, mereka masih berani petakilan. Apalagi aku lah bayak! Jadi sesak boker aku iya."
"XI IPS 3 ya? Wanjay, kelas paling ngartis di buku dosa BK itu mah," celetuk Uci, selaku mahasiswa BK yang tentu saja tugasnya selama PPL adalah menangani siswa-siswi yang bermasalah bersama para Guru BK.
"Tuh kan tuh! Makin sakit perutku dengernya Ci." Nai memasang ekspresi memelas.
"Goda aja sikit," celetuk Aldi, mahasiswa olahraga yang merasa dirinya paling tampan sejagat raya.
"Pala kau itu," jawab Nai.
"Pala kau itu Boy." Daffa tertawa renyah.
Suara bel pergantian jam berbunyi, yang menandakan saatnya masuk les berikutnya.
"Ya Allah kuatkan hamba." Nai mengusap wajahnya.
"Selamat berjuang kawan! Pantang balik ke basecamp, sebelum nangis." Daffa dan Aldi tertawa puas.
"Doain aku gak kencing celana." Nai tersenyum hambar dan dipaksakan.
Setelah itu Nai, langsung beranjak menuju kelas XI IPS 3, kalau kata guru-guru di SMA Swasta Darmawangsa ini, kelas XI IPS 3 adalah kelas legend, yang dihuni oleh para preman-premannya SMAS Darmawangsa.
Sebelum memulai pembelajaran, Nai sempat diskusi singkat dengan Guru Pamongnya. Nyali Nai semakin mencelos tatkala Pamong Nai hari ini menyerahkan kelas sepenuhnya pada Nai, karena Pamong Nai sedang ada urusan penting di luar sekolah.
Apalah daya Nai yang hanya mahasiswa PPL, mau menolak pun segan. Karena kalau mengacu pada prosedur yang ada seharusnya minggu ini Nai belum boleh di lepas sendiri di kelas, selama Nai mengajar seharusnya harus di dampingi oleh Pamong.
"Assalamualaikum Ananda sekalian," ucap Nai dengan suara lantang.
Hening tidak ada jawaban, murid-murid Nai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bergosip ria, ada yang tengah melukis peta dari sabang sampai merauke di meja, dan barisan para kaum Adam di barisan paling ujung malah tengah adu panco. Seolah kepergian Bu Afni, guru Pamong Nai adalah kemerdekaan yang hakiki bagi mereka. Nai layaknya seperti makhluk tak kasat mata di depan sana.
"Assalamualaikum Ananda, tolong duduk di bangku masing-masing. Jangan ada aktivitas lain kecuali yang berhubungan dengan pelajaran PPKn!!!" Nai sampi harus mengeluarkan volume suara tingkat tinggi, karena kalau tidak seperti itu suaranya nyaris lenyap oleh kebisingan murid-muridnya.
"Minta tolong di kantor polisi Buk, bukan di sini," celetuk seorang siswa.
Nai banyak-banyak melafalkan lafadz istighfar, kalau tidak emosinya akan meluap-luap, dan itu berbahaya.
"Jangan sampai Ibuk panggil Pak Malik ke kelas kalian ya, kalau kalian masih gak mau dengarin ibuk ngomong. Ibuk panggil Pak Malik." Begitu mama Pak Malik tersebut, suasana langsung hening seketika. Guru yang paling mereka takuti di sekolah ini hanya Pak Malik, mendengar nama Pak Malik seolah mereka tengah mendengar nama Malaikat pencabut nyawa.
"Janganlah Buk, Ibuk ini pun mainnya ngancam. Gak asik ah."
"Makanya Ibuk kalau ngomong ya didengarkan, Ibuk berdiri di sini bukan mau jadi radio rusak kalian. Dengarkan biar Ibuk absen, siapa yang gak nyahut Ibuk buat alfa!"
"Jangan kejam-kejam Buk, entar cepat
... " ucapan siswa tersebut sengaja ia gantung."Cepat apa?" tanya Nai.
"Cepat jadi pacar saya Buk."
"Saya ini guru kalian! Jadi jangan anggap saya seperti kawan kalian, yang bisa kalian jadikan bahan guyonan!" Nai benar-benar terlihat tidak bisa santai lagi.
"Dengarkan Ibuk mau ngabsen!"
Nai memanggil satu persatu nama siswa-siswinya berdasarkan urutan yang tertera di absen.
"Rizky Al-Fatih."
Hening, tidak ada sahutan.
"Sekali lagi, Rizky Al-Fatih."
"Sampai Mail dua singgit jualan kerak telor pun Buk, Bang Rizky gak bakal nyahut. Suaranya itu bagaikan mutiara di dasar lautan," celetuk seorang siswi perempuan.
"Rizky Al-Fatih."
"Gak percayaan kali Ibuk ini Bah, Bang Rizky itu gak mau ngomong emang Buk."
"Yang mana orangnya?" Nai mulai penasaran.
"Yang paling pojok belakang Buk, tatapannya itu selalu kosong Buk. Hati-hati lah pokoknya."
Nai mengarahkan pandangannya ke arah yang dimaksud, Nai menelusuri mimik wajah yang ditampilkan oleh Rizky, nyaris tak ada ekspresi kehidupan yang tercetak di wajah Rizky.
Nai berjalan mendekat ke meja Rizky.
"Bang, Ibuk panggil namanya kok gak nyahut?" tanya Nai dengan hati-hati.
"Ngomong sama Abang itu gak ada bedanya ngomong sama patung Buk."
"Bang!" Nai mengibaskan tangannya di depan wajah Rizky.
"Dia selalu gini?" tanya Nai.
"Iya Buk, Abang ini sebenarnya umurnya udah 20 tahun Buk, udah kuliah harusnya. Tapi Abang ini ya gini lah Buk, gak mau ngomong sama siapapun. Tapi Abang ini pinter Buk, otaknya encer betul. Soal matematika yang sesulit apapun dilibas sama dia, pokoknya kalau disuruh ngerjain tugas siap itu Buk. Tapi Abang ini gak mau ngomong, Abang ini pernah nganggur juga sekolahnya, makanya jumpanya ama kita-kita Buk." Siswi perempuan yang duduk di meja samping Rizky, menjelaskan secara detail.
"Kalian belum pernah dengar suara sama sekali?" tanya Nai
"Gak pernah Buk, pokoknya selama kami satu kelas sama Bang Rizky belum pernah kami dengar suaranya Buk."
Nai tentu saja merasa syok, Nai tidak pernah menyangka akan dipertemukan dengan murid sejenis ini.
Yang menjadi tanda tanya besar di benak Nai, kenapa anak ini tidak dimasukkan di sekolah berkebutuhan khusus saja? Tapi kalau mendengar cerita muridnya tadi, mungkin bisa jadi pertimbangannya karena Rizky cerdas, tapi tetap saja sebenarnya untuk siswa seperti Rizky, membutuhkan perhatian lebih khusus lagi. Sedikit sulit apabila di gabung dengan siswa yang tidak berkebutuhan khusus.
...
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
RI-NAI
RomanceRI-NAI. Ri dan Nai, seolah kebetulan jika digabung akan menjadi Rinai, rintik-rintik hujan melodi indah dari alam. Namanya Rizky Al-Fatih, lelaki dengan latar belakang keluarga yang tidak terdefenisikan oleh kata-kata, terlalu miris. Potensi kecerd...