2. In Your Universe

7.7K 1K 19
                                    


Faris

Hari minggu. Rumah. Bogor. Aroma pisang goreng buatan Ibu. Empat hal itu cukup untuk membuat gue bangun di pagi hari dengan senyum lebar, menyadari bahwa hari ini, gue terbangun di tanah air gue sendiri. Setelah dua tahun merantau di negeri kanguru demi melanjutkan pendidikan jenjang magister tanpa pulang sama sekali, kesadaran bahwa sekarang gue sudah berada di tanah air benar-benar merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi gue.

Benar memang kata pepatah; daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.

"Mas Farisss!" teriak Nadya kencang. Beberapa detik kemudian pintu kamar gue terbuka, dan kepala Nadya muncul di baliknya. "Kamu kubangunin dari tadi kok nggak bangun-bangun sih, Mas?!"

"Masih jetlag, Nad..."

Mendengar jawaban gue itu, Nadya jadi menatap gue dengan tatapan bersalah. "Sori, sori..." ujarnya sambil meringis. "Aku masuk boleh, ya?"

"Masuk, lah."

Adik gue itu langsung masuk ke kamar gue, sedikit berlari, kemudian naik ke atas kasur, ikut masuk ke dalam selimut bersama gue.

"Lah, jadi ikutan tidur di sini?"

"Nggak boleh?" tanyanya. Dia merangkul lengan gue, kemudian merajuk. Manja. "Aku kangen banget tau, Mas... Rumah sepi banget nggak ada kamu."

Gue tertawa, mengacak puncak rambutnya lembut. Gue juga kangen dia. Banget. Kami cuma dua bersaudara, dan walaupun kalau di rumah sebenarnya kami sering berantem, tapi kami bakal kangen satu sama lain ketika salah satu dari kami sedang tidak ada. Makanya dibanding oleh-oleh untuk Ayah dan Bunda, gue lebih banyak membelikan oleh-oleh untuk Nadya. Selain karena dia juga nitip barang banyak banget, sih.

"Tau, kok. Mas emang ngangenin, kan?" Gue piting lehernya menggunakan lengan gue.

"Dih, males!" serunya. Kemudian dia berusaha melepaskan diri dari pitingan gue. "Mas, udah ih aku gak bisa napas. Mas!!!"

Gue tertawa, melepaskan dia dari pitingan gue.

"Hih, jauh-jauh kuliah di Aussie hobi mitingin leher orang masih aja nggak berubah," Nadya bersungut-sungut.

"Kamu nggak kangen sama pitingan Mas emang?"

"Nggak, lah!" tukasnya, kemudian menoleh ke arah gue. "Eh, Mas, kamu jadi bawain pesananku kan, ya?"

"Hm... Pantesan tiba-tiba kamu ke kamar Mas bilang kangen-kangen... Ternyata cuma mau ambil pesanan!" gue menatapnya, pura-pura sakit hati.

"Nggaaak, hih! Aku tanya soalnya ada pesanan temanku juga. Kalau ada nanti dia mau ngambil ke sini," jelasnya.

"Lah, itu ada pesanan teman kamu juga?"

Nadya mengangguk tanpa dosa. "Kamu masih ada struk belanjanya kan, Mas? Nanti biar sekalian dia ganti uangnya."

"Mas nggak tau masih ada atau nggak struk belanjanya... Lagian kamu nggak bilang kalau ada titipan teman kamu juga," ujar gue. "Pantesan banyak banget pesanannya. Mas sampai pusing kemarin beliinnya. Tau gitu Mas sekalian bikin jastip Aussie aja di instagram."

Nadya menyengir. "Banyak banget, ya?"

Gue mengangguk tanpa ragu. Pesanan Nadya kemarin memang banyak banget. Segala dari sepatu, parfum, sampai make up lengkap. Make up juga beragam, dari yang gue familiar namanya kayak lipstick sampai yang nggak pernah gue dengar kayak... Browner? Bronzer? Highlighter? Saking bingungnya, gue akhirnya cuma datang ke toko kosmetik, kasih list barang yang dikasih Nadya, mempercayakan semuanya pada Mbak-Mbak yang ada di sana.

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang