Adara
Soekarno—Hatta di hari Rabu tidak seramai biasanya.
Aku membantu mengangkat koper besar Mama dari taksi. Berat banget. Aku sudah protes dan bertanya apa saja isi koper itu sampai terasa berat sekali, dan bagaimana caranya Mama mengangkat koper itu ketika sudah sampai tujuan dan tidak ada aku nanti, tapi Mama bilang koper itu hanya berisi pakaian dan beberapa barang untuk dipakai selama seminggu ke depan. Beliau juga memintaku agar jangan lebay karena katanya beliau kuat mengangkat koper itu sendirian.
"Pesawat Mama jam berapa?" tanyaku.
"Masih lama kok, Teh. Mau makan dulu, nggak?"
"Mama lapar?"
"Enggak, sih."
Aku terkekeh. "Teteh juga nggak lapar."
Rencananya, seminggu ke depan Mama akan mengikuti seminar kedokteran di Jepang. Makanya aku bela-belain izin siang ini demi mengantar Mama ke bandara. Sejak insiden opname waktu itu, aku masih suka parno sendiri sampai sekarang. Rasanya seperti... Tidak rela meninggalkan Mama lama-lama. Tapi sekarang justru Mama yang akan meninggalkanku.
Mama tiba-tiba mencubit hidungku, membuyarkan lamunanku. "Lagi mikir yang aneh-aneh nih, pasti."
Aku menyengir, tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk beliau. Aku sedikit menunduk supaya bisa meletakkan daguku di pundak beliau. Menghirup sebanyak-banyaknya wangi strawberry yang menguar dari tubuh Mama. "Jangan lupa madu sama vitaminnya diminum ya, Ma..."
"Iya, Teh..." jawab Mama, sudah tidak asing lagi dengan permintaanku.
Aku melepaskan pelukan setelah puas menghirup aroma tubuh Mama. "Jangan lupa oleh-oleh."
"Insya Allah," Mama mengangguk. Tapi sedetik kemudian matanya memicing, menatap sesuatu di belakangku. "Eh, itu Naufal bukan sih, Teh?"
Aku refleks mengikuti arah pandang Mama. Benar saja. Itu memang Mas Naufal. Penampilannya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dia sedang berjalan ke arah kami, sepertinya baru mengantar orang juga.
Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan, Mas Naufal menoleh ke arah kami. Tatapannya bersitatap dengan tatapanku, membuatku spontan berdecak.
Kusenyumi dia, dia balas tersenyum juga. Mas Naufal mencium tangan Mama begitu dia sampai di tempat kami berdiri.
"Ke mana aja, Fal? Lama nggak kedengeran kabarnya, makin ganteng aja, kamu."
Mas Naufal melirikku cepat, seolah bertanya, 'emang kamu belum kasih tau?'. Kuberikan kode padanya untuk tidak mengungkit-ungkit putusnya hubungan kami. Entah dia mengerti atau tidak.
Aku memang belum membicarakan perihal kandasnya hubunganku dengan Mas Naufal. Bukan karena tidak mau, sih. Lebih tepatnya karena lupa, tidak kepikiran sama sekali. Mama juga tidak pernah bertanya.
"Maaf, Tante. Agak sibuk akhir-akhir ini."
Mereka mengobrol-ngobrol sebentar setelah itu, membahas tentang kabar, pekerjaan, dan lain-lain. Aku dicuekin. Sampai kemudian Mama tersadar bahwa beliau belum check-in dan memutuskan untuk pamit duluan.
Kupeluk Mama sekali lagi, mengantarkan beliau sampai masuk ke dalam pintu keberangkatan. Mas Naufal masih di sana ketika aku kembali mengantar Mama. Dia menatapku lekat.
"Apa kabar, Mas?" tanyaku, berusaha menetralisir kecanggungan.
"Baik, baik..." jawab Mas Naufal. "Kamu?"
"Sama."
Kubalas tatapan laki-laki yang juga sedang menatapku itu. Laki-laki yang dulu pernah menatapku dengan tatapan dalam, yang pernah menatapku dengan tatapan penuh sayang. Kini dia menatapku dengan cara yang sama sekali berbeda. Tatapan kasual saja selayaknya seorang teman kepada teman lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...