5. Unexpected Moodbooster

5.5K 796 20
                                    

Adara

Pagi hari sungguh merupakan kunci untuk membangun suasana hati di hari itu. Aku tidak tahu apakah orang lain juga selalu begitu, tapi buatku, iya. Ketika pagi hari mood-ku sudah buruk, bisa dipastikan mood buruk itu akan tetap bertahan sampai aku tidur di malam hari nanti. Yah, walaupun mood baik di pagi hari bukan jaminan kalau mood ku akan tetap baik sampai malam nanti, sih. Tapi pokoknya begitu, deh. You got my point, right?

Hari ini, mood breaker yang menghancurkan mood baikku di pagi hari adalah Mama. Aku baru selesai memulas lip cream di bibirku dan bersiap berangkat ke stasiun ketika Mama tiba-tiba masuk ke kamarku tanpa diketuk. Awalnya memang tidak ada yang aneh. Mama tersenyum padaku, mengelus rambutku. Aku mencium pipinya. Pagi-pagi buta begini, Mama sudah mandi dan wangi. Aku suka sekali aroma strawberry yang menguar dari body yogurt yang dipakainya.

"Udah siap berangkat, Teh?" tanya Mama.

Aku mengangguk. Ini sudah lebih dari dua minggu sejak Mama keluar dari rumah sakit. Mama kini terlihat jauh lebih sehat dan segar dari sebelumnya. Mama bahkan sudah mulai bekerja kembali sejak beberapa hari lalu.

"Teteh pulang lagi minggu depan ya, Ma," ujarku sembari mengecek kembali barang-barang di dalam tasku. Ponsel, notes, pulpen, dompet, make up pouch, power bank, dan charger, semua sudah masuk ke dalam tas. "Mama kalau capek jangan dipaksain buka praktek lho, Ma. Langsung istirahat aja, ya? Terus jangan lupa makan..."

"Kamu nih kayak mamanya Mama ya lama-lama..." Mama memotong ucapanku.

Aku tertawa. "Jangan sampai sakit lagi pokoknya! Janji?"

"Insya Allah."

Aku tersenyum, menyalimi beliau. Tapi Mama tak kunjung melepaskan tanganku.

"Mama kemarin malam baru ditelpon Papa, Teh," ujar Mama pelan.

Tubuhku sontak menegang. Sudah lama sekali sejak Mama mengucapkan kata 'Papa'. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya.

"Pengin ngajak kamu jalan-jalan ceunah."

Kulepaskan tanganku dari tangan Mama, kemudian mengambil sepatu dan memakainya dengan gusar. Mood breaker banget Mama pagi-pagi begini membuka topik pembicaraan tentang orang itu.

Jalan-jalan, katanya? Aku dan orang itu tidak punya hubungan akrab yang membuat kami lantas bisa menikmati acara 'jalan-jalan'. Hubungan kami jelas bukan hubungan yang seperti itu.

"Papa kangen tuh kayaknya, Teh, makanya ngajakin kamu jalan-jalan. Yang dekat-dekat aja... Beli baju, gitu?"

Aku mendengus. "Baju Teteh masih banyak."

"Ya udah kalau gitu beli celana? Rok? Blazer? Sweater? Katanya kemarin kamu mau cari sweater, kan?"

"Teteh udah bisa cari duit sendiri, nggak perlu minta orang itu buat beliin Teteh," ujarku dengan suara bergetar.

"Teteh!" tegur Mama. "Teh, biar bagaimana pun itu Papa kamu, lho, Teh. Orang tua kamu juga. Nggak boleh ngomong gitu, ah!"

Aku tak kuasa membendung air mataku begitu mendengar ucapan Mama. Orang tua, katanya? Orang tua yang kumiliki hanya Mama. Sejak dulu, orang tua yang kumiliki hanya Mama. Tidak ada yang lain.

"Ma, orang itu udah bukan orang tuaku lagi sejak dia menikah sama perempuan itu."

"Teteh!" tegur Mama lagi. Kali ini suaranya lebih tegas, tanda bahwa ucapanku sudah keterlaluan. "Istighfar, Teh. Nggak boleh ngomong gitu!"

Air mataku semakin deras keluar tak terbendung. Kupeluk Mama erat. Dengan tambahan heels lima senti yang kupakai, tubuh Mama jadi terasa jauh lebih pendek dibanding tubuhku. Kini aku harus menunduk ketika memeluknya. Kueratkan lagi pelukanku begitu mengingat bahwa Mama telah mengasihiku sejak aku kecil hingga tumbuh jadi sebesar ini.

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang