Adara
Kakiku rasanya hampir patah ketika sampai di rumah Nadya. Seharian ini aku menemani Nadya bertemu dengan WO yang ditugaskan untuk meng-arrange semua prosesi pernikahannya, dari lamaran sampai resepsi, karena si Daffa sedang ada dinas ke Kalimantan. Kini aku mengerti kenapa Nadya pusing banget memikirkan seluruh rangkaian acara pernikahannya dengan Daffa nanti. Baru lamaran saja keluarganya sudah minta pakai jasa organizer, belum lagi segala tetek bengek seragam dan dokumentasi -- yang tentu aja akhirnya dituruti oleh Nadya, karena mereka tidak punya pilihan. Setelah meeting dengan WO, kami ikut kelas cardio yang sudah kuskip selama dua bulan terakhir ini karena kesibukanku yang tak berhenti-henti. Hashtag pertemanan sehat banget ya, pertemanan kami. Tapi menginjakkan kaki di kelas cardio setelah dua bulan skip rasanya benar-benar seperti hampir mati. Kalau saja Nadya tidak memintaku untuk mampir di rumahnya untuk mengambil kain seragam, rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di kamar.
"Nih," Nadya menyerahkan sebuah plastik berisi kain padaku.
Kuambil plastik itu, kemudian merebahkan punggungku di atas kasur Nadya. "Sepuluh menit lagi gue pulang ya, Nad. Pewe banget di sini... Bikin mager."
"Santai, sist. Lo mau nginep juga gue hayuk aja. Mumpung malam minggu ini, si Daffa lagi nggak ada, nyokap bokap gue lagi pergi juga."
"Kalau besok gue nggak kerja ya gue hayuk aja, Nad," timpalku.
Mood-ku mendadak berubah buruk setelah mengingat bahwa besok aku harus kembali bekerja. Padahal akan sangat menyenangkan jika malam ini aku bisa menginap di rumah Nadya. Kedua orang tua Nadya juga sedang pergi berlibur -- another honeymoon, kalau kata Nadya. Apalagi... Mas Faris juga sedang pulang ke Bogor.
Tapi ngomong-ngomong tentang Mas Faris, aku belum menceritakan pada Nadya mengenai perkembangan hubungan kami. Tidak ada yang harus disembunyikan juga sebenarnya. Aku hanya... Bingung saja bagaimana untuk memulainya. Nadya pasti kaget jika aku menceritakan yang sebenarnya. Jadi aku lebih memilih untuk diam saja, dan membiarkan Nadya tahu dengan sendirinya.
"Lo kapan sih dapat jatah libur pas weekend, Dar?" tanya Nadya. "Bukan yang Sabtu-nya libur tapi Minggu-nya masuk, ya. Tapi yang literally dua-duanya libur."
"Hm.. Kapan, ya?" Aku mengingat-ingat. "Sering tau gue, tuh. Tapi gue lupa. Nanti deh gue cek jadwal gue lagi. Kenapa, emang?"
"Liburan, yuk?" ajak Nadya. Random banget emang sahabatku satu itu. Padahal tadi dia baru mengeluhkan tentang tabungannya yang terkuras habis.
"Katanya tadi tabungan lo habis, emang masih muat buat liburan?"
"Tabungan yang habis tuh tabungan nikah doang, Dar. Kalau tabungan yang itu sih minus malah, sampai harus nombokin dari tabungan-tabungan gue yang lain. Tapi kalau tabungan liburan mah, masih ada, lah," jelasnya. "Lagian ini kan terakhir gue bisa liburan bareng sama lo. Habis nikah, walaupun gue yakin sih Daffa pasti ngebolehin aja kalau gue mau liburan sama lo, tapi kan tetap aja... Beda rasanya. Kayak... Gimana pun juga, gue pasti bakal kepikiran dia, nggak kayak waktu gue masih single."
"Iya, sih. Yaudah, kuy aja kalau gue mah," ujarku tanpa berpikir panjang. Sedih juga sih kalau dipikir-pikir. Aku jadi tidak bisa membayangkan, bagaimana ya nanti kalau Nadya sudah menikah? "Mau ke mana emang?"
"Yang dekat-dekat aja... Bandung... Atau Anyer? Pulau seribu?"
"Anyer!"
"Fix. Bener, ya?" Nadya memastikan lagi. "Awas aja sampai wacana."
"Fix. Nanti gue kabarin lagi deh gue kosongnya kapan."
"Oke. Cari waktunya habis gue lamaran aja, Dar. Biar pas gue agak selow gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...