Adara
One thing I hate the most in this whole world is waiting. For anything.
Mungkin banyak orang di dunia ini yang bisa tahan menunggu. Namun tidak denganku. Sebagai seorang wartawan, aku telah banyak belajar bahwa waktu adalah uang. Memang banyak saat-saat ketika kami harus menunggu, namun setelah itu, pekerjaan kami tetap menuntut kami untuk berkejaran dengan waktu.
Tapi di luar kebiasaanku, kali ini aku memutuskan untuk menunggu.
Sudah sepuluh menit sejak mobil Mas Naufal berhenti di depan rumahku. Tangannya yang besar masih mengganggam tanganku, erat, namun tidak ada satu pun kata yang terucap sejak kami masuk mobil. Ini adalah pertemuan pertama kami sejak satu bulan berlalu tanpa saling bertukar kabar — tidak dengan chat, video call, apalagi kencan. Jika kupikir-pikir lagi, intensitas bertukar pesan antara aku dan Mas Panji, VJ yang sering bekerja bersamaku sepertinya jauh lebih sering dibandingkan antara aku dan Mas Naufal. Aku baru saja berpikir bahwa jangan-jangan sebenarnya hubunganku dan Mas Naufal sudah berakhir ketika siang tadi secara tiba-tiba Mas Naufal menghubungiku dan menawarkan apakah aku mau diantar pulang ke Bogor atau tidak malam ini. Sudah dua minggu sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah, aku sudah sangat merindukan Mama, dan tentunya, bermacet-macet ria di mobil Mas Naufal tentu jauh lebih baik dibandingkan harus berdesak-desakan di KRL. Lagipula, aku tahu ada sesuatu di antara kami yang harus segera diselesaikan. Jadi aku memutuskan untuk menerima tawarannya.
"Dar..."
Ah, this is it.
Aku menoleh padanya, menatap laki-laki yang telah membersamaiku selama tujuh bulan terakhir ini. Delapan bulan jika satu bulan terakhir yang berlalu tanpa sapa ini juga dihitung. Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku menatapnya seperti ini, di jarak sedekat ini, sebelum berakhir semua yang pernah kita miliki.
Di bawah cahaya remang-remang, aku dapat melihat dia juga sedang balik menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Genggamannya di tanganku semakin erat. Namun ternyata itu tidak cukup untuk membuat dadaku terasa hangat.
"Aku tahu kamu tahu apa yang mau aku omongin."
"So just say it."
Mas Naufal menggeleng. Dalam hati, aku bertanya-tanya apa kiranya yang membuat hubungan kami sampai renggang seperti ini. Mungkin sejak dia menyadari bahwa aku tidak memberi sebanyak yang dia beri. Atau sejak dia menyadari bahwa dia memberi lebih dari apa yang pantas aku dapatkan.
Aku tahu sejak awal setiap orang pasti memiliki batas kesabaran. Dan untuk Mas Naufal, batas kesabaran itu mungkin hari ini. Malam ini. Ketika pada akhirnya kami harus menyelesaikan apa yang baru saja akan kami mulai.
"Don't look at me that way, Dar. You make me feel so bad."
"Go ahead." Aku tidak menuruti perintahnya. Aku tetap menatap lurus ke dalam manik matanya dan membuat Mas Naufal justru mengalihkan pandangan keluar jendela. "Don't you worry about me, Mas. It's not that bad, trust me. I am fine."
Mas Naufal menggeleng. Kini dia menatapku dengan tatapan menyedihkan. Kemudian dia menyalakan tape mobil, menyerahkan tanggung jawab pada John Mayer untuk memecah kesunyian.
What's worse than a break up with John Mayer's song, anyone?
"So, it's a done, then?" ujarku akhirnya, tak tahan dengan Mas Naufal yang tak kunjung memberi jawaban.
Mas Naufal tidak menjawab. Dia menatapku. Lama sekali. Hanya ada beberapa saat dalam hidupku ketika aku membiarkan orang lain membuatku menunggu, dan kali ini adalah salah satunya. Lagi-lagi aku memutuskan untuk menunggu reaksi Mas Naufal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
Literatura KobiecaAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...