12. I Will Show You

5.1K 772 37
                                    

Hai hai! Maaf update nya lama wkwk. Tugas kuliah numpuk banyaaak bgt akhir2 ini  hiks dan long weekend kemarin (nggak long sih sebenarnya, tapi senin kecepitnya anggep aja liburan hahahah) aku manfaatkan sebaik-baiknya dengan bermalas-malasan hahaha. Yhaaa jadi curhat kan. Pokoknya selamat membaca dan menikmati!

***

Adara

"Mas? Maaf ya, tadi aku lupa ngingetin Mas kalau ditanya-tanya sama Mama itu sebenarnya sebelas dua belas sama diinterogasi polisi," ujarku begitu kami berdua masuk ke dalam mobil.

Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Bandung sekarang. Sengaja berangkat pagi-pagi agar tak terjebak macet di jalan – walaupun tidak mungkin sebenarnya, tapi setidaknya kalau berangkat pagi jalanan nggak macet-macet banget. Aku sudah memperingatkan Mas Faris di awal kalau Mas Faris tak perlu meminta izin pada Mama untuk membawaku ke Bandung karena aku sudah izin juga, tapi Mas Faris tetap ngotot dan berdalih bahwa tak sopan rasanya jika membawa-bawa anak orang tanpa meminta izin pada orang tuanya. Ya sudah. Kubiarkan saja. Tapi akhirnya Mama justru menanyakan banyak hal pada Mas Faris, sampai ke hal-hal yang belum kuketahui juga sebelumnya. Sesi pertanyaan – atau lebih tepatnya disebut interogasi – itu akhirnya selesai setelah aku mengingatkan bahwa kami akan terjebak macet jika tak segera berangkat.

Sekarang aku yang jadi tak enak hati pada Mas Faris.

Tapi ternyata bukannya marah atau menunjukkan kesan tak nyaman padaku, yang selanjutnya Mas Faris lakukan justru tertawa kecil. "Duh, kamu tuh. Masa suara lembut Tante Irene disama-samain sama polisi?"

Iya sih, suara Mama memang lembut. Tapi pertanyaannya itu, kadang membutuhkan jawaban yang lebih lengkap daripada pertanyaan yang diajukan polisi.

"Tapi tetap aja..."

"Nggak apa-apa. Mas paham lah, Mas kalau punya anak secantik kamu juga pasti Mas tanya-tanya dulu sebelum kasih izin buat pergi," jawab Mas Faris.

Aku berusaha mengabaikan kata secantik kamu yang barusan dia ucapkan.

"Lain kali nggak usah izin lagi ke Mama deh, Mas. Daripada ditanya-tanya lagi," ujarku.

Detik kemudian aku baru sadar kalau kalimatku barusan itu ambigu. Lain kali... Itu berarti aku memang berharap bahwa akan ada lain kali, kan? Bahwa lain kali, Mas Faris akan menjemputku dari rumah untuk pergi ke suatu tempat, seperti saat ini, kan?

Aku menoleh ragu-ragu ke arah Mas Faris, berharap Mas Faris tidak menyadari pemilihan kataku yang ambigu. Ya walaupun aku juga yakin bukan hanya aku yang berharap akan ada lain kali di antara kami... Tapi malu saja rasanya jika Mas Faris sadar. Kesannya kok aku ngarep banget, gitu.

Tapi sepertinya Mas Faris sadar. Buktinya, kini dia sedang tersenyum tertahan. "Ya nggak lah, Dar. Lain kali Mas bakal tetap izin ke Tante Irene. Lagipula, Tante Irene seru, kok. Mas suka ngobrol sama beliau."

Aku mendengus. Yah, obrolan seru macam apa yang dimaksud Mas Faris jika obrolan yang terjadi di antara mereka berjalan satu arah? Persis seperti wawancara, hanya Mama yang terus-menerus bertanya pada Mas Faris dan tidak berlaku sebaliknya.

"Bohong banget. Seru dari mana coba kalau dari tadi Mas cuma jawabin pertanyaannya Mama doang? Kayak aku kalau lagi wawancara narasumber."

Mas Faris tergelak. "Seru, lah. Habis ngobrol sama Tante Irene, Mas kan jadi tahu gimana kamu kalau di rumah, seberapa dekat kamu sama beliau..."

Yah... Beberapa lama aku mengenal Mas Faris membuatku menyadari kalau kakak Nadya itu adalah seorang observer. Dia dengan cermat mengobservasi apapun yang ada di sekitarnya, seperti ketika dia dengan detail memperhatikan rak buku di unit apartemenku waktu itu. Dan bagaimana dia kini dapat menyimpulkan banyak hal dari 'wawancara'nya bersama Mama tadi.

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang