Adara
"Ini lo belum nyampe apartemen, Beb?"
"Belum. Ini gue masih di Grab. Bentar lagi nyampe kok," jawabku seraya melihat jam di dashboard mobil. Pukul setengah dua belas, tengah malam, dan aku masih dalam perjalanan pulang. Sepertinya sejak jadi reporter, pulang malam bukan lagi menjadi masalah besar buatku. Dan seolah itu semua belum cukup, baru beberapa menit lalu Mbak Jeni kembali menghubungiku dengan mengatakan kalimat default-nya yang selalu dia ucapkan tiap kali dia akan memberikan tugas mulia padaku; 'Dara, lo di mana? Masih perjalanan pulang, ya? Hati-hati, ya... Sama besok lo jangan lupa ngeliput konferensi pers tentang kasus narkoba itu, ya? Baru banget nih gue dapet kabar kalau besok ada konferensi persnya.' Iya, kalimat default yang kumaksud itu adalah dengan pertanyaan penuh perhatian di awal, menanyakan kabar dan memintaku untuk berhati-hati, yang ujung-ujungnya tentu saja, tugas liputan! "Kenapa?"
"Nggaaak. Tadinya gue pengin ngeluh, tapi dengar hidup lo lebih sulit dari gue — gila aja lo jam segini baru balik, gue jam segini udah sempat berantem dulu sama Daffa pulang kantor tadi — jadi malu sendiri."
Aku spontan tergelak. "Kenapa sih, emang? Cerita aja, kali!" desakku. "Lagian lo kenapa sama Daffa? Ini udah mau kawin masih aja pakai berantem-berantem."
"Justru karena mau kawin deh kayaknya, Dar, rasanya hubungan gue sama Daffa kayak lagi diuji gitu. Adaaa aja yang bikin gue sebel sama dia."
"Kenapa lagi..."
"Buat lamaran besok, Dar. Gue kan maunya sederhana aja, ya. Pokoknya intinya kan keluarganya Daffa mau minta izin ke keluarga gue buat ngawinin gue, udah, kelar, kan. Tapi keluarganya Daffa tuh ribet banget... Ternyata di tengah-tengah mereka minta banyak banget. Mau ada seragam buat keluarga lah, sewa videografer, lah. Padahal ini kan cuma lamaran. Dan lo harus tau keluarga kita yang bakal diundang tuh banyak... Daffa aja tujuh bersaudara! Bayangin dong, gue kudu jahitin baju buat kakak-kakaknya, belum iparnya, ponakannya, sepupunya... Maksud gue kalau emang mau jahit baju ya sekalian buat nanti aja pas nikah. Mau gue tuh udah nggak usah pakai videografer, minta tolong aja siapa gitu buat videoin, tapi pihak sana yang nggak mau. Katanya ini kan once in a lifetime gitu lho, nggak bakal terulang lagi!" Nadya mengomel panjang lebar. "Kakaknya Daffa tuh, yang Mbak Atiqa, ribet banget orangnya. Mending kalau dia mau bayarin. Ini pakai tabungan gue sama Daffa, udah beneran sesek tabungan kita berdua, Dar!"
"Ya udah nggak usah diturutin..."
"Maunya sih gitu... Tapi lo tau sendiri lah, Dar, kalau nggak diturutin nanti pasti nggak enak semua. Mau minta orang tua nggak mungkin kan Dar, gue sama Daffa udah commit nggak mau ortu keluar duit banyak buat lamaran doang, tapi kalau pakai duit gue sendiri juga gue nggak punya..."
"Ya mau gimana lagi, Nad..." Aku juga bingung kalau Nadya mengeluh begini. Aku tidak pernah berada di posisi Nadya sebelumnya. "Jadi lo mau turutin aja? Berapa sih emang kurangnya? Mau pinjem duit gue dulu?"
"Eh, gila, enggak, lah! Gue tuh cuma mau ngeluh aja ke elo biar lega, Dar, bukannya mau pinjem duit... Ini si Daffa masih gue suruh buat nego ke keluarganya."
Aku terkikik. Tahu sebenarnya kalau Nadya nggak berniat meminjam uang, tapi siapa tahu, kan...
Nadya masih mengomel di telpon ketika mobil yang kutumpangi sampai di lobi utama gedung apartemenku. Cepat-cepat kubayar ongkos taksiku — karena di belakang kami sudah ada mobil yang mengantri — dan segera turun. Masih dengan mendengarkan omelan Nadya yang belum berhenti. Aku dengarkan saja pokoknya sampai dia lega.
"Ini lagi Mas Faris barusan chat gue kalau badannya panas."
Sakit? Perasaan kemarin Mas Faris baik-baik saja? Setelah makan malam di tempatku kemarin — sekitar jam sebelas malam, kalau aku tidak salah melihat jam — Mas Faris memang izin balik ke tempatnya, karena katanya besok harus berangkat pagi. Memang sedikit flu sih, tapi kemarin Mas Faris terlihat sehat-sehat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
Literatura FemininaAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...