Adara
Sejauh yang bisa kuingat, sejak dulu, Mama dan Papa memang sudah sibuk. Aku lupa kapan tepatnya, namun Papa yang lebih dulu mengambil PPDS penyakit dalam. Mama menyusul setelahnya, ketika aku baru masuk TK. Dari cerita Mama, aku juga baru tahu kalau Papa merintis bisnis di tengah kesibukan PPDS-nya. Jadilah urusan bisnis itu menjadi tambahan kesibukan Papa selain urusan pendidikannya.
Sudah hal yang biasa jika seharian penuh aku tak bertemu Papa. Biasanya hanya Mama yang ada di rumah ketika aku pulang sekolah. Jadi sebenarnya bukan hal yang aneh ketika tiba-tiba Papa jarang ada di rumah. Karena sebelum-sebelumnya pun, Papa sering tak pulang satu-dua malam ketika diminta untuk menginap di rumah sakit.
Aku baru merasakan ada yang aneh dari keluarga kami ketika malam-malam aku terbangun dan mendengar suara Mama dan Papa yang sedang bertengkar. Aku masih SMP saat itu. Sudah cukup besar untuk tahu bahwa pertengkaran ada karena adanya suatu masalah yang tak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Sudah mengerti juga bahwa pertengkaran antara kedua orang tua bisa menimbulkan hal mengerikan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya; perceraian. Tapi saat itu, aku masih belum cukup besar untuk berani keluar dan melerai pertengkaran mereka berdua. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya duduk di balik pintu kamar, mencuri dengar pembicaraan sambil menangis ketakutan. Aku baru kembali ke kasur ketika mendengar suara langkah kaki yang berjalan menuju kamarku -- biasanya itu adalah Mama -- dan pura-pura sudah tidur ketika Mama datang dan mencium keningku sembari mengatakan bahwa beliau sangat sayang padaku.
"Dari mana, Pa?"
Itu suara Mama. Seperti biasa, di awal pertengkaran, belum ada teriakan yang keluar. Yang ada baru pertanyaan bernada interogasi yang memojokkan dari Mama yang dilontarkan untuk Papa.
"Rumah sakit," jawab Papa. Suara Papa terdengar lelah. "Tadi ada operasi tiga jam. Capek banget, Ma."
"Operasinya di Santika, ya?" Aku bisa mendengar nada menyindir dari pertanyaannya, disusul dengan suara gebrakan yang terdengar amat keras. Cukup keras untuk membuat jantungku berpacu dengan cepat.
Siapa yang menggebrak meja dengan begitu keras? Bukankah sejak kecil aku selalu diberi pengertian agar semarah apapun diriku, jangan sampai melampiaskannya dengan cara menggebrak atau melempar benda? Namun kenapa kini suara gebrakan yang terasa menyakitkan itu justru datang dari kedua orang tuaku yang dulu mengajariku untuk meluapkan emosi dengan cara yang santun?
"Irene!" bentak Papa kencang.
Itu pertama kalinya aku mendengar Papa membentak seseorang dengan begitu kencang. Aku bersumpah tak ingin mendengarnya lagi. Dan kenapa pula Papa harus memanggil Mama dengan menggunakan nama panggilannya? Bukankah biasanya Papa menggunakan kata ganti 'Ma' atau bahkan 'Sayang'?
"Bisa nggak hari ini stop dulu berantemnya?" tanya Papa. Kini intonasinya tidak semengerikan tadi. "Aku capek. Dari kemarin tiap pulang kita bertengkar terus. Hari ini mau tidur aja nggak pakai acara berantem, bisa?"
"Maksud kamu, aku harus tunda dulu pertanyaanku walaupun aku tahu suamiku habis ngamar sama temanku sendiri?"
Pikiran polos remajaku masih belum bisa memahami situasi. 'Ngamar' yang kutahu adalah suatu keadaan di mana keadaan seseorang yang sedang sakit sudah tidak memungkinkan lagi untuk diobati menggunakan pengobatan 'rawat jalan' sehingga harus 'ngamar'. Tapi ngamar bersama teman...
Aku terkesiap. Menyadari penggunaan lain dari kata 'ngamar' yang kini terdengar sangat mengerikan.
Tidak mungkin kan, ini adalah ngamar yang 'itu'?
"Irene!" bentak Papa lagi, membuatku sejenak berhenti memikirkan kegunaan lain dari penggunaan kata 'ngamar'. "Jangan ngomong sembarangan kamu!"
"Kenapa? Aku punya bukti. Inez juga lagi di Santika tadi, dia lihat kamu di sana. Sama Dini," suara Mama terdengar frustrasi. "Kamu nggak mungkin mikir kalau aku langsung nelan mentah-mentah dari informasi Ines itu, kan, Yo? Iya, aku tanya ke teman-temanmu jadwal kamu hari ini. Nggak ada jadwal operasi! Jadi jelas, kan, siapa yang bohong di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...