Faris
Sabtu pagi, keluarga gue sudah sibuk di depan rumah. Ayah dan Bunda adalah morning person sejati dan menularkan hal itu pada anak mereka. Sehabis subuh, walaupun weekend, nggak boleh tidur lagi. Gue, ayah, dan Nadya jogging keliling kompleks sementara Bunda sibuk di dapur. Balik-balik, pisang goreng sudah tersedia di depan rumah, siap untuk menemani kami melakukan kegiatan selanjutnya: Gue mencuci mobil, sementara Ayah, Bunda, dan Nadya bercocok tanam.
Bercocok tanam itu sebenarnya juga hobi Ayah dan Bunda. Tapi karena sejak kecil beliau berdua suka mengajak gue dan Nadya bercocok tanam, gue dan Nadya jadi terbiasa dan akhirnya suka juga.
"Mas, itu kamu cuci mobil udah mau selesai, belum?" tanya Bunda ketika gue tengah mengelap bodi mobil menggunakan kanebo.
"Dikit lagi," jawab gue. "Kenapa?"
"Nanti tolong ambilkan batu-batuan di dalam gudang, ya."
"Lho, beli lagi?" tanya gue.
Bunda sudah banyak sekali batu-batu hiasan yang diletakkan di pot bunga sebenarnya. Gue nggak tahu kapan Bunda beli itu lagi, padahal menurut gue yang kita punya sekarang ini sudah lebih dari cukup.
"Iya, kemarin Bunda habis beli," jawab Bunda.
"Hari ini Dara nggak ke sini, Dek?" tanya Ayah.
Mendengar nama Dara disebut, entah kenapa gerakan mengelap mobil gue jadi melambat, penasaran dengan jawaban Nadya. Walaupun kayaknya dia nggak bakal ke sini, sih. Mamanya kan lagi sakit.
"Nggak. Lagi sibuk katanya dia."
"Kerja?"
"Nggak tau," jawab Nadya. "Tapi iya sih kayaknya."
Gue mengernyit. Memangnya Nadya nggak tahu kalau Mama Dara opname di rumah sakit?
"Mamanya Dara kan sakit, Dek," gue akhirnya ikutan nimbrung.
Nadya menghentikan gerakannya, menoleh ke arah gue. "Sakit?"
Gue mengangguk. "Kapan hari itu Mas habis ketemuan sama teman Mas di rumah sakit, terus ketemu sama Dara. Mamanya opname katanya," jelas gue. "Emang Dara nggak cerita?"
"Enggak," ujar Nadya. Raut mukanya berubah sebal. "Dara tuh selalu gitu, deh... Kalau nggak ditanya nggak cerita," gerutunya, kemudian berjalan menuju selang air dan mencuci tangan. "Bentar ya, Bun, aku telpon Dara dulu!"
Nadya baru kembali lima belas menit kemudian, ketika gue selesai mencuci mobil dan sudah bergabung dengan Bunda dan Ayah di pekarangan.
"Kenapa Dek ternyata?" tanya Bunda.
"Iya, bener, diopname. Udah empat hari katanya. Ini sekarang Dara juga nggak di rumah sakit, masih kerja," jelas Nadya. "Suaranya kedengaran capek banget tuh anak kayaknya... Udah empat hari PP Jakarta-Bogor."
"Lho, emang biasanya enggak?" tanya gue.
"Enggak. Dulu sempat sih awal-awal kerja... Tapi Dara gampang sakit kalau kecapekan, jadi Mamanya beliin dia apartemen di dekat kantornya. Kalau weekdays Dara nginep di sana, weekend baru pulang. Seringnya sih weekend juga nggak bisa pulang kalau lagi ada tugas liputan," jelas Nadya panjang lebar. "Makanya kasihan banget dia kalau udah PP Jakarta-Bogor, pasti capek banget. Aku takutnya nanti dia ambruk lagi."
"Ya udah nanti kamu jengukin aja, Dek," ujar Ayah.
"Iya, nanti sore rencananya aku mau ke sana kok, Yah, kalau Dara-nya sudah pulang."
"Mau sama Bunda?" Bunda menawarkan diri. Kalau nggak salah, Bunda juga kenal dengan Mama-nya Dara. Tapi nggak terlalu akrab. Cuma sekadar kenal saja karena anak mereka bersahabat dekat. "Jam berapa nanti Dara pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...