Faris
"Mas."
"Hm?" Gue menjawab telpon Nadya malas-malasan. Gue sedang mengerjakan revisi dari klien yang baru saja dikirim ke email gue dan harus dikirim ulang besok. Makanya sebenarnya sejak tadi gue agak-agak nggak konek dengan cerita Nadya di telpon karena konsentrasi gue terpecah. Tapi daripada Nadya mencak-mencak telponnya nggak gue angkat, mending didengarkan saja walaupun nggak paham-paham amat dengan apa yang sedang dia bicarakan.
"Ih, Mas tuh nggak kayak nggak ada semangatnya gitu sih dengerin aku cerita?"
"Hm."
"Dih, kok hm doang, sih?" protes Nadya.
"Oh gitu? Terus?"
"MAAAS!" teriak Nadya kencang, membuat gue otomatis teralihkan dari pekerjaan gue. Kebiasaan banget sih Nadya kalau pengin cari perhatian gue. Untung aja gue sayang sama nih bocah satu. Terpaksa gue sampingkan dulu pekerjaan gue demi meladeni Nadya. "Mas pasti nggak dengerin dari tadi, deh!"
"Dengerin, kok."
"Apa, coba?" Nadya mengetes gue. "Orang tadi waktu aku ngomong, Mas nanggepinnya nggak nyambung sama apa yang aku omongin!"
Gue tertawa. "Masa sih?"
"Iyaaa!" seru Nadya gemas. "Hih. Dasar. Padahal aku punya kabar buat kamu."
"Apa, tuh?"
"Tarik napas dulu, coba. Aku takut kamu kejang-kejang habis denger kabar ini."
"Lebay."
"Serius. Tarik napas dulu. Kalau belum tarik napas aku nggak mau kasih tau."
Apa-apaan coba si Nadya? Tapi karena penasaran, gue ikuti juga perintahnya. Sengaja gue keraskan suara napas gue agar dia dengar. "Udah."
"Siap ya? Baca bismillah dulu."
"Oke."
"Istighfar dalam hati."
"Iyaaa."
"Janji ya nggak bunuh diri habis denger ini?"
"Iya, Deeek. Ya Allah." Gue mulai nggak sabar.
"Tadi ada undangan datang ke rumah."
"Undanganmu sama Daffa?" tanya gue. "Emang kalian udah nentuin tanggal? Kok udah pesan undangan?"
"Hhh. Ya belum, lah. Ngapain juga aku ngasih tau kamu kalau maksudku undanganku sama Daffa," ujar Nadya. "Ini tuh... Undangannya... Duh, aku mau ngomong beneran ya kamu janji jangan bunuh diri kalau aku kasih tau?"
"Ya Allaaah. Iya, Dek. Siapa, sih?" tanya gue. "Undangannya si Kay?"
"Ih, kok tau?"
"Nebak aja."
"Undangannya di Bandung, tuh. Minggu depan," katanya. Kali ini volume suaranya memelan sedikit daripada sebelumnya.
"Oke."
"Mas...?" panggilnya hati-hati. "Kamu... Nggak apa-apa kan, ya?"
Gue tertawa membayangkan ekspresi Nadya ketika dia khawatir. Ya nggak heran, sih. Kay adalah mantan gue waktu gue masih kuliah dulu. Yang nggak terima dengan kesibukan gue, dan memilih cara selingkuh sebagai protesnya untuk gue. Sampai bikin gue sedih berbulan-bulan. Udah lama banget kejadiannya, gue udah lupa juga. Gue justru heran kenapa Kay mengirimkan gue undangan pernikahannya pada gue. Padahal kita sudah nggak pernah ngobrol lagi sejak terakhir kami putus waktu itu. Satu-satunya cara kami berhubungan dengan satu sama lain selama beberapa tahun terakhir ini adalah dengan saling memberikan like sosial media masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...