10. Balkon, Malam, dan Kita Berdua

4.9K 731 9
                                    


Adara

Sekarang sudah pukul satu dini hari, di hari Senin. Hanya tinggal beberapa jam lagi sampai aku harus kembali bekerja setelah mendapatkan jatah libur. Seharusnya aku sudah tidur sekarang demi me-recharge tenaga untuk besok. Namun nyatanya yang kulakukan kini adalah berdiri di balkon apartemen, sendiri, mengingat kembali isi percakapanku dengan Mama siang tadi.

Mama baru pulang dari pengajian ketika aku mendatanginya di ruang TV. Sejak kemarin, pikiranku sudah tak tenang. Suara orang yang tak ingin kudengar sepanjang sisa hidupku itu terus terngiang-ngiang di kepalaku seolah tak mau pergi. Padahal dia tak menelpon lagi setelah telponnya kumatikan secara sepihak. Hanya memberi pesan supaya segera menghubunginya ketika aku sudah siap. Namun entah kenapa, suara itu masih saja mengganggu dan mengacak-acak isi kepalaku.

"Udah makan, Teh?" tanya Mama.

Aku duduk di samping Mama. Kupeluk beliau erat. Kuhirup dalam-dalam aroma stawberry yang masih menempel di tubuhnya. "Mah..."

"Hm?" balas Mama, hanya bergumam. Mama sepertinya bingung karena sikapku yang begitu tiba-tiba, namun beliau tetap membalas pelukanku. "Teteh kenapa?"

Aku menggeleng dalam pelukannya. "I love you..."

"Mama juga sayang sekali sama Teteh," jawab Mama, terdengar semakin bingung. Namun aku percaya ungkapan sayangnya padaku benar-benar tulus. "Kenapa, Nak? Teteh ada masalah?"

Kulepaskan pelukanku, kemudian menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Kok tiba-tiba gitu?"

"Emang harus ada masalah dulu baru boleh bilang I love you ke Mama?" protesku sambil pura-pura cemberut.

"Ya enggak, tapi nggak biasa aja," jawab Mama. "Alhamdulillah kalau Teteh nggak ada masalah. Eh, Teteh udah makan belum? Nih, Mama dapat nasi kotak habis dari pengajian tadi. Kayaknya nasi kuning tuh isinya, makan bareng-bareng yuk?"

Aku mengangguk, kembali ke dapur untuk mengambil sendok dan bergabung bersama Mama yang kini sudah melepas jilbabnya.

"Teteh gimana kerjaannya? Lancar?" tanya Mama.

"Lancar, alhamdulillah. Teteh udah cerita belum sih Ma kalau kemarin Teteh ngeliput HUT parpol yang lumayan besar? Wawancara banyak tokoh juga. Seneng banget deh, Ma, bisa ketemu sama orang-orang hebat."

"Iya, tapi Teteh cuma bilang kalau mau ngeliput doang, belum ceritain habis dari sana gimana," jawab Mama. "Nanti liputannya masuk youtube nggak, Teh? Sayang banget, Mama kemarin pengin nonton tapi lagi ada pasien."

Aku mengangguk. Walaupun ini sudah tiga tahun sejak aku menjadi reporter, namun Mama masih saja belum bosan menonton liputanku. Mama memang nggak pernah menonton bersamaku -- aku yang nggak mau karena malu, aneh saja rasanya menonton diri sendiri di layar kaca! -- tapi Mama selalu memberiku laporan setiap kali beliau melihat liputanku. Kadang beliau juga memberikan masukan kalau beliau rasa ada beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki dalam penampilanku.

"Mah..."

Mendengarku memanggil beliau, Mama meletakkan sendoknya, kemudian menatapku. Aku tahu sedari tadi Mama tahu aku ingin membicarakan sesuatu namun beliau memutuskan untuk menunggu sampai aku memulai lebih dulu. Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya aku mantap untuk melanjutkan ceritaku.

"Kemarin Teteh ditelpon sama orang."

"Orang? Siapa, Teh?"

"Awalnya Teteh nggak tahu. Orang itu cuma chat Teteh di WA, tanya benar ini nomor Teteh apa enggak, terus Teteh balas. Nggak lama orang itu telpon Teteh, suaranya kayak suara Papa..."

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang