Adara
"Sori banget ya Nad, gue sibuk banget kemarin, jadi nggak sempat bantu-bantuin persiapan lamaran."
"Haiiishhh. Nggak, kok. Semua udah beres," ujar Nadya di sebrang. "Acaranya dua bulan lagi, Dar. Lo bisa datang, kan? Harus datang, lah!"
"Tanggal sepuluh, kan? Bisa lah, bisa..." ujarku. Aku sudah membuat reminder di satu minggu sebelum tanggal sepuluh bulan depan untuk mengingatkan diriku agar jangan sampai dapat jadwal liputan di hari lamaran Nadya. "Gimana? Deg-degan nggak, Nad?"
"Banget... Tiap hari selalu aja ada waktu di mana gue harus meyakinkan diri gue sendiri. Kayak... Ini yakin nggak sih, gue mau melangkah ke another stage of life? Yakin ini gue beneran nikah karena gue siap, atau karena ya udah dilamar Daffa aja makanya mau nggak mau harus siap? Tapi kalau udah kayak gitu, nggak tahu ya, gue seolah selalu dikuatkan dengan gestur-gestur Daffa yang bikin gue kayak, yes, this guy will be a good father for your daughter and son. Bikin gue semakin yakin," cerita Nadya panjang lebar.
Aku tersenyum mendengarkan ceritanya. Mungkin Nadya adalah satu dari segelintir orang beruntung yang memiliki kisah cinta yang indah. Tidak seperti Mama yang bercerai di tahun keenam belas pernikahannya, tidak seperti Tante Karin yang bercerai di tahun kelima pernikahannya, tidak seperti nenek yang bercerai di tahun kesepuluh pernikahannya. Semoga saja.
"Kata orang kalau yakin mau nikah itu, berarti dia yakin kalau pasangan dia ini adalah the one. The one you're looking for, the one you'll trust to be your bestfriend for the rest of your life," ujarku, mengutip perkataan orang-orang yang seringkali kudengar. "Kalau lo... Gimana caranya lo yakin kalau Daffa itu orangnya, Nad?"
"Hm... Gue nggak tau sih, Dar. Mungkin karena dari dulu gue sudah sama Daffa, gue sudah sampai di titik di mana gue nggak bisa bayangin siapa-siapa lagi yang bakal jadi suami gue selain Daffa."
"Hm..." Aku mendengarkan penuturannya. "Persiapan lamaran sudah sampai mana?"
"Udah kelar, kok. Gue nggak ribet buat lamaran. Persiapan yang lain-lain aja malah yang gue getol banget kayak masak gitu. Sekarang yah... Bisa lah masakan gue diadu sama masakan lo, Dar!"
Aku tertawa mendengarnya. "Cieee. Terus Daffa gimana waktu tau lo bisa masak?"
"Daffa senang banget, lah! Sebenarnya dia tuh nggak ada nuntut gue buat bisa masak atau gimana. Tapi gue kan sebagai perempuan ya pengin aja kasih yang terbaik buat suami gue. Apa ya... Sebagai bentuk sayangnya gue ke dia aja gitu. Daffa yang tadinya biasa aja sekarang jadi suka 'Yang, cobain masak ini, deh, masak itu, deh!' Yaaah dulu aja bilangnya nggak mau nuntut, begitu gue mulai belajar masak, pengin juga dimasakin macem-macem!"
Aku tertawa lagi, memegangi perutku yang sudah sakit sejak tadi sebenarnya. Aku lihat tanggal di ponselku ketika rasa sakitnya semakin menyiksa. Benar saja, sekarang pertengahan bulan. Sepertinya tamu bulananku tiba.
"Lah... Baru juga diomongin si kangmas langsung nelpon," ujar Nadya, memanggil Daffa dengan panggilan default-nya ketika dia sedang membicarakan Daffa denganku. "Udah dulu ya, Dar? Bye!"
Begitu Nadya menutup telpon, aku cepat-cepat pergi ke kamar mandi, mengecek celana dalamku. Sudah ada bercak merah di sana. Dan sialnya, aku baru ingat kalau persediaan pembalutku sudah habis. Karena ribet waktu Mama sakit kemarin, aku jadi nggak kepikiran sama sekali kalau persediaan barang-barang di rumah mulai menipis.
Hhh. Kerjaan banget ya hampir tengah malam gini aku kudu turun untuk membeli pembalut. Walaupun di basement ada minimarket dua puluh empat jam sih, tapi dengan perut mulas begini, turun dua puluh lantai menggunakan lift itu bakal terasa lama sekali. Kuambil card holder dan ponselku kemudian langsung turun ke bawah tanpa berganti baju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mess
ChickLitAdara Aku tidak percaya bahwa hubungan yang berhasil itu benar-benar ada. Yang pacaran punya peluang untuk putus, bahkan yang sudah menikah pun masih punya peluang untuk bercerai. There's no happy ending in romantic relationship, right? Satu-satuny...