3. Lebih Dalam, Lebih Banyak

6.2K 904 10
                                    

Adara

Ternyata aku salah besar ketika mengatakan bahwa aku akan kangen Mas Naufal di awal-awal putusnya hubungan kami. Karena pada kenyataannya tidak. Mungkin karena aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya selama satu bulan terakhir, jadi sebenarnya berakhir atau tidaknya hubungan kami tidak akan ada bedanya. Atau mungkin karena akhir-akhir ini pikiranku tersita oleh pekerjaan yang sedang seru-serunya.

Seperti saat ini, aku ditugaskan untuk meliput jalannya sidang vonis mantan anggota dewan yang sedang ramai diperbincangkan. Setelah berkali-kali lolos dari jerat hukum, serta dibumbui berbagai drama yang mengikuti kasus ini, berita tentang sidang vonis yang menjadi akhir drama anggota dewan tersebut tentu sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Mengingat ini adalah berita superheboh dan superdahsyat yang sedang ramai dan ditunggu-tunggu, aku jadi was-was sepanjang perjalanan. Walaupun harus kuakui, aku sudah sangat tak sabar untuk meliput kasus ini mengingat aku sudah mengikuti kasus ini sejak awal dibuka.

"Wah sudah rame banget, ya," komentar Pak Dayat, sopir yang mengantar kami, ketika kami sampai di gedung pengadilan tipikor.

Benar saja. Areal parkir sudah dipenuhi mobil media — cetak, online, TV, semua lengkap. Berbagai macam kalangan dari media, mahasiswa beralmamater, serta masyarakat juga banyak yang sedang berdiri di luar gedung.

"Bakal seru, nih," komentar Mas Panji.

Perutku mendadak mulas mendengar komentar Mas Panji. Semakin banyak media yang meliput, itu berarti semakin besar pula berita yang akan ditayangkan. Aku tidak boleh melakukan kesalahan di liputan sepenting ini.

Kukirimkan pesan singkat pada Mama sebelum turun dari mobil.

Adara Majid: Mah, Teteh mau liputan. Liputan penting bgt nih, Teteh deg-degan banget :( Doain, ya?

Ketika aku sampai di gedung pengadilan, balasan dari Mama belum tiba juga. Sejak dulu, aku selalu terbiasa mengirim pesan pada Mama setiap kali aku sedang gugup atau tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu. Meminta doa dan pesan-pesan penyemangat dari beliau. Biasanya, suntikan semangat dari Mama selalu ampuh untuk membangkitkan kepercayaan diriku.

"Gila, rame banget, Dar..." komentar Mas Panji.

"Iya, lah. Kasus besar, Mas," ujarku.

"Bakal jadi perhatian masyarakat banget ini liputan kita."

"Makanya..." Mengingat betapa masyarakat menantikan liputan ini membuat perutku mulas lagi. "Deg-degan nggak lo, Mas?"

"Biasa aja," jawab Mas Panji. Santai banget. "Lo deg-degan ya?"

"Banget! Gue sampai sakit perut..."

"Tenang, Dar. Anggap aja ini liputan lo yang biasanya," kata Mas Panji. "Coba tarik napas dalam-dalam... terus keluarin. Biar rileks."

Aku mencoba mengikuti saran Mas Panji. Dan walaupun aku tidak tahu apa pengaruh menarik-napas-dalam-kemudian-keluarkan yang kata Mas Panji dapat membuatku rileks namun pada kenyataannya terasa sama saja bagiku, aku tetap menjawab iya ketika Mas Panji bertanya, "rileks, kan?"

Kulihat arlojiku. Masih ada banyak waktu sampai sidang dimulai. Mantan anggota dewan yang menjadi terdakwa dalam kasus ini juga belum datang. Kuputuskan untuk melanjutkan risetku mengenai kasus ini untuk membantu liputanku nanti.

"Dar!" tiba-tiba bahuku ditepuk kencang oleh Mas Panji. "Itu terdakwanya datang!"

Ketika aku menoleh, sudah banyak teman-teman media yang berlarian mendekati mobil yang sudah berhenti di depan lobi. Kami segera mendekati mobil tersebut sembari membawa peralatan masing-masing — Mas Panji dengan kameranya dan aku dengan microphone-ku. Kami kemudian berpisah, aku berusaha menyusup di antara wartawan lainnya yang juga sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan keterangan dari terdakwa.

Beautiful MessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang