Part 14

2K 240 19
                                    

Setelah mandi dan sholat Dzuhur, aku melangkah menuju dapur untuk membuat makan siang. Jam menunjukkan pukul dua. Ada sedikit rasa aneh pada diri ini karena berada di rumah saat jam kerja. Hari ini aku hanya kerja setengah hari.

Sebenarnya sejak pagi tadi Wang sudah menyuruhku untuk tidak masuk, tapi aku tidak enak dengan teman-teman. Jadi aku tak mengindahkannya. Siang tadi saat jam istirahat tiba, dia memanggilku ke ruanganya dan memaksaku pulang. Katanya sih, biar aku mempunyai waktu yang cukup untuk persiapan sore nanti.

Sebelum mulai memasak, Aku membuka jendela dapur dulu. Angin musim semi yang sejuk menghipnotis wajah ini untuk sesaat.

Andaikan aku disuruh memilih bulan favorite di antara dua belas bulan, aku pasti akan memilih bulan Maret. Angin yang sejuk, mataharinya hangat, bunga-bunga bermekaran, dan semua tumbuhan menghijau. Sayangnya Maret sudah mau berakhir, tinggal tiga hari lagi. Iya hari ini Kamis tanggal dua puluh sembilan.

Kututup lagi jendela itu. Kubatalkan rencana bikin makan siangnya. Cuaca siang akhir Maret ini, terlalu sayang untuk tidak dinikmati. Pakaianku sudah cukup panjang, tinggal pakai bergo dan meraih tas dari atas meja, lalu menghambur keluar.

Tujuanku adalah kedai kecil Paman Lin di dekat taman. Mereka menjual Liang Mien* yang selain murah, juga enak sekali . Biasanya di musim sejuk begini, mereka akan menaruh meja kursinya di luar, jadi pengunjung bisa makan sambil menikmati pemandangan taman dan sekitarnya.

Setelah memesan seporsi Liang Mien* dan sebotol Tongkua cha*, aku mencari meja yang paling strategis untuk duduk dan menikmati makan siang dengan santai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memesan seporsi Liang Mien* dan sebotol Tongkua cha*, aku mencari meja yang paling strategis untuk duduk dan menikmati makan siang dengan santai. Saat mengambil tissu dari dalam tas, tanganku menyentuh sebuah amplop. Kuletakkan tissu di atas meja dan kupandangi amplop bertuliskan Ibon itu sesaat.

Benda itu membawa pikiranku melayang kembali pada kejadian di tahun baru Imlek kemarin. Kejadian yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidupku.

Petang itu, setelah memberikan amplop berisi tiket konser yang akan kami hadiri nanti malam. Dia menciumku untuk pertama kalinya. Di luar dugaan, aku pun membalas ciuman itu. Dan menikmati bibir lembutnya, tanpa menghiraukan logika dan dalil yang saling berteriak di kepalaku.

Masih teringat dengan jelas, saat itu kami berciuman lama dan hangat sekali. Serasa berjam-jam. Tahukah kalian? Bahwa itu pengalaman pertama kali dalam hidupku. Karena memang seumur-umur, aku belum pernah berciuman dengan seorang pria pun, termasuk Wawan.

Getaran gawai membuyarkan lamunanku, satu pesan WA dari Wang.

><Hi, jangan lupa kencan kita hari ini, ya! Aku tunggu di mobil jam setengah enam.😘😘><

Kencan? Apakah acara kami nanti malam bisa disebut kencan? Bukankah kencan itu seharusnya dilakukan oleh sepasang kekasih? Apakah dia menganggapku sebagai kekasihnya, tanpa perlu meminta persetujuanku?

Memang kuakui, semenjak moment Imlek itu, hubungan kami semakin intens. Bahkan kami melakukan beberapa ciuman lagi. Yang meskipun tidak bisa dibilang banyak. Karena masih bisa dihitung dengan jari tanganku, tapi bukan berarti dapat disebut sedikit juga.

WANG (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang