Chapter 3: Park Jimin

6.5K 619 13
                                    

Tuhan selalu memiliki alasan mengapa dua insan dipertemukan, bukan semata-mata sebuah kebetulan melainkan sebuah takdir...

Sepasang iris yang sedang membentuk sebuah lengkungan layaknya bulan sabit kala pria itu tersenyum agaknya membuat Jian sedikit terheran. Bagaimana bisa seorang pria dianugrahi wajah yang terlihat tenang dan menjengkelkan dalam waktu bersamaan? Belum lagi dengan sebuah sensasi aneh yang Jian rasakan saat melihat pria itu melangkah, sangat kharismatik dan mempunyai aura yang cukup kuat. Jian tak melihat wajahnya secara mendetail, tidak juga memandanginya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Hanya saja Jian dapat merasakan kharisma dari senyumannya yang Jian lihat sekilas

"Ini Kim Jian—adikku. Jian-ah, beri salam pada Park Jimin. Dia akan membantu mu" seruan Seokjin nampaknya tak berpengaruh apapun pada Jian yang kini justu nampak mundur beberapa langkah, memberikan jarak dengan kedua pria didekatnya. Namun reaksi Park Jimin tak terlihat terkejut sama sekali, wajahnya seolah sudah dicetak dengan raut tersenyum hingga senyuman tak pernah terlepas bibirnya.

Jimin mempersilahkan Jian untuk duduk disebuah sofa panjang berwarna coklat susu, tahu bahwa ia tak akan bisa melarikan diri saat ini membuat Jian hanya mampu menuruti permintaan orang asing yang konon katanya adalah seorang Psikolog. Segala rasa takut dan pemikiran buruk itu perlahan menipis begitu Jian mendaratkan bokongnya pada sofa itu, terasa seperti ia duduk diatas tumpukan Marsmellow—sangat empuk dan nyaman. Jian bahkan terpikir untuk menukarkan ranjangnya dirumah dengan sofa ini.

Sementara Jian fokus pada sofanya yang seperti surga baru baginya, kedua pria yang semula berada didekatnya memilih untuk berbicara serius diruangan lain. Ruangan itu memiliki ukuran yang lebih kecil dengan dinding hingga atap yang terbuat dari kaca, menampakan jelas pemandangan tanaman merambat disana, tidak terlihat menyeramkan atau kumuh, justru terlihat menyegarkan. Apalagi mereka dapat melihat langit dengan jelas, sepertinya semua ruangan yang ada dirumah ini di design senyaman mungkin untuk para "pengunjung" yang bertandang kemari.

Jimin menuangkan kopi dicangkir Seokjin yang disambut dengan manis oleh pria jangkung itu, lantas ia mengambil cangkirnya lalu meminum kopinya sedikit demi sedikit, guna menikmati rasa dan tentu saja; karena kopinya masih panas. "Jadi ada apa dengan adikmu? Nampaknya dia begitu menghindari ku"

Seokjin menaruh kembali cangkirnya dimeja kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi pada Jian sesuai dengan yang diketahui sejauh ini. Jimin berusaha mencerna setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut Seokjin, tidak begitu lengkap dan terperinci namun cukup jelas baginya. "Aku bisa mengambil kesimpulan sedikit, adikmu jadi merasa terganggu jika berada didekat seorang pria, dia juga menghindari kontak fisik bahkan tak berani untuk menatap, begitu?"

Seokjin mengangguk pasti "Aku tidak bisa membiarkannya hidup dalam ketakutan seperti itu, dan lagi dia pun takut padaku juga"

Jemari kecilnya bergerak mengambil cangkir lalu meminum kopinya dengan santai namun tidak dengan wajahnya yang berubah menjadi begitu serius, kedua iris nya menatap penuh arti pada Seokjin,

"Arrhenphobia"

🌸

Jian benar-benar tidak sanggup lagi menahan keinginannya setelah duduk disofa milik Jimin, ia ingin sekali membaringkan tubuhnya diatas batalan yang nyamannya memabukan ini. Masa bodo dengan pendapat Park Jimin atau kakaknya nanti, yang jelas Jian ingin sekali berbaring disana.

Irisnya mengerjap tatkala rasa nyaman dan tenang menyambanginya, ia ingin sekali merapatkan kelopak matanya barang sebentar disana. Namun pada akhirnya, gadis itu tertidur lelap.

𝘢𝘳𝘳𝘩𝘦𝘯𝘱𝘩𝘰𝘣𝘪𝘢 || 𝗣𝗝𝗠 (𝗦𝗨𝗗𝗔𝗛 𝗧𝗔𝗠𝗔𝗧)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang