2

6.7K 375 4
                                    

Kedua mata berwarna cokelat itu tak henti-hentinya menatap kagum akan bangunan-bangunan khas Eropa yang berada di depan matanya. Titik pertemuan antara kota yang lama dan baru. Untuk kesekian kalinya ia berdecak kagum dan tidak menyesal untuk berlibur di tempat ini. Senyuman manis dan mata yang berbinar itu tak hilang dari wajahnya.

Ia berdiri di tengah alun-alun kota Prešeren dan memerhatikan keramaian karena banyaknya orang yang datang dan berkumpul di tempat ini. Sejujurnya Lilyana sangat –ralat- kurang menyukai keramaian tapi ini pengecualian. Ia tidak ingin menyesal karena tidak mendatangi jantung kota Ljubljana ini, ibukota Slovenia.

Tersimpan di memori otaknya dan tentu saja harus tersimpan di dalam kartu memori kameranya. Lilyana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia terus membidik kameranya kepada obyek yang menarik perhatiannya dan hampir semuanya menarik perhatiannya.

Setelah dirasanya cukup, Lilyana mulai berjalan sedikit ke timur dari alun-alun untuk melihat patung perunggu, patung Prešeren seorang penyair nasional Perancis dengan muse-nya. Walau pun patung itu terlihat seperti kurang dirawat, Lilyana tetap merasa patung itu indah. Ia menatap patung itu dengan lama. Seperti ada ketertarikan yang mendalam ketika ia menatap patung itu. Seorang penyair dengan muse-nya, dua hal yang tidak bisa terpisahkan, terlalu terikat. Ia merasa kepalanya dipenuhi dengan kata-kata kiasan, kalimat-kalimat rumit yang bisa dijadikan syair. Ya, ia pengagum puisi dan syair. Makanya ia sangat kagum melihat patung itu.

Lilyana tersenyum lebar, perempuan itu kemudian membalikan badannya hendak mengambil gambar patung itu dari jarak agak jauh namun ia terkejut dengan seseorang yang berdiri di sampingnya.

Laki-laki itu.

Aku ingat, ingat sekali, benak Lilyana.

Perawakan seorang laki-laki dengan tinggi lebih dari 180cm, berbadan tegap dan berotot –itu dapat terlihat dari kaos hitam slimfit yang dipakainya yang dilapisi dengan jaket jeans-, berambut cokelat dan berkulit putih khas orang Eropa, berdiri tepat di sampingnya sambil mendekap kedua tangannya di dada. Laki-laki itu sementara menatap patung Prešeren itu dengan tenang dan tanpa ekspresi sama sekali.

Lilyana pun berusaha terlihat biasa saja dan terus berdoa dalam hati bahwa semoga saja pria ini tidak mengingatnya. Ia harus segera pergi dari tempat ini sebelum pria itu sadar.

Belum selangkah Lilyana melangkah, ia merasa ada yang mencekal bahunya.

Apa maumu mas, jerit Lilyana dalam hati.

Mukanya berubah tegang dan alisnya mengerut ke bawah.

Ia memutuskan berbalik badan dan tersenyum tipis kepada laki-laki Eropa itu.

Laki-laki itu menatap lekat mata Lilyana. Lilyana juga menatap laki-laki itu dan menunggu apa yang akan dilakukannya –ralat- wanita itu terpesona dengan warna mata itu, abu-abu. Terkesan tajam dan mematikan namun juga memesona disaat bersamaan. Sebelumnya ia tidak pernah bertatapan dengan jarak dekat seperti ini dengan seseorang yang memiliki warna mata abu-abu baru pria ini.

“Bloom, kita bertemu lagi.” Laki-laki itu bersuara juga akhirnya dengan aksen Inggris yang kental. Ia tersenyum miring memandang Lilyana. Lilyana mengernyitkan dahinya.

Huh?” Lilyana melongo dibuatnya. 
Bloom? Ia tidak salah orang kan? Begitu pikir Lilyana.

No, it’s you.”
Seolah-olah bisa membaca pikiran Lilyana laki-laki itu menjawab pertanyaan yang hanya ada di dalam kepala Lilyana.

Lilyana mengernyit heran namun kemudian ia tersenyum sopan, “sorry sir, I’m not the one you’re looking for.”

Ia melepas tangan pria itu yang masih betah berada di atas bahunya.

Bloom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang