Itachi tidak pernah seantusias itu. Karena alasan yang diberikan Hinata bagus dan juga efisien. Ia segera mengiyakan ketika Hinata dengan sukarela menerima pekerjaan paruh waktu dari pamannya. Dan yang lebih menyenangkan dari itu, ia bisa sering mampir ke apartemen Pamannya dan ikut makan gratis. Ide cemerlang!
Mereka butuh seseorang yang dapat dipercaya. Itu jelas bisa diaplikasikan pada Hinata. Lagipula Hinata punya banyak waktu untuk kerja ditempat lain setelah cafenya bisa dijalankan dari jauh.
Toh hanya beberapa jam saja. Tidak akan mengganggu pekerjaannya di cafe.
****
Itachi menekan kombinasi angka yang diingat Hinata. Angka yang sudah sangat umum dan mudah dihapal. 8118.
Apartemen Madara cukup luas untuk ditinggali sendirian. Apalagi apartemen itu terdiri dari dua lantai.
Kata Itachi, lantai pertama hanya berisi ruang tamu, ruang santai, kamar mandi di dekat dapur dan sebuah kamar yang tampaknya untuk kamar tamu.
Demi privasi, kamar tidur utama dan juga ruang kerja ada di lantai dua.
Hinata menganggukkan kepala mengingat semua detail informasi dari Itachi.
Lelaki jangkung itu lalu mengintip pergelangan tangannya. "Aku lapar. Bisakah kau memasak?!"
Hinata menyunggingkan senyum antusias dan anggukan yang membuat rambut panjangnya bergerak.
"Sebentar." Hinata menuju sebuah kulkas besar dan membuka isinya.
Sepertinya, kulkas dan hati Madara satu perasaan. Isinya hanya kekosongan selain beberapa botol bir dan juga sake.
Bahkan air mineral pun absen dari kotak pendingin itu.
"Benar-benar mengenaskan ya?!" Itachi tampak sama prihatinnya dengan Hinata.
"Baiklah, tampaknya aku harus memberikan sedikit donasi sebagai ucapan selamat menempati tempat tinggal baru untuk pamanku." Itachi berceloteh sambil mengambil kembali kunci mobilnya. "Hinata. Ayo kita belanja."
****
Hinata tidak pernah merasa penuh energi seperti itu. Setelah kalap belanja kebutuhan dapur dan memaksa Itachi membawanya secara suka rela.
Ia berjanji akan membuat makanan enak untuk lelaki itu. Tapi ia hanya punya waktu tiga jam sebelum makan malam dimulai.
Dengan tergesa ia menjelajahi dapur milik Madara dan menarik napas lega ketika mendapati peralatan memasak tampak lengkap.
"Ibuku yang melengkapinya. Tadinya, ia ingin menaruh maid ke sini. Tapi sayang sekali, ide itu ditolak mentah-nentah Madara-san."
Tentu saja, siapa yang mau dimata-matai orang tua. Apalagi kakak perempuan sendiri yang sangat kepo. Hinata membenarkan dalam hati.
"Hinata... Aku benar-benar lapar." Wajah Itachi memelas.
****
Makanan sederhana untuk tiga porsi selesai dibuat pada waktunya.
Hinata mengagumi kecepatannya sendiri, meski agak kecewa kenapa ia tak membuat makanan yang lebih mewah.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?!"
Hinata terkesiap, menoleh hingga lehernya terasa berderak. Demi Tuhan, lelaki itu berada di sana, dengan tubuh tegapnya dan matanya yang tajam seolah siap menguliti Hinata.
Ya, Uchiha Madara memang seperti itu. Terlalu menyilaukan hingga terbakar. Terlalu kaku sampai tak memiliki satupun sahabat. Dan yang paling penting, pria berusia empat puluh satu tahun itu adalah lajang misterius yang tak mencari pacar lagi setelah calon istrinya meninggal tujuh tahun yang lalu. Dengan kata lain orang workaholic yang gagal move on.
Lelaki berjubah tidur itu, melangkah lebar-lebar dan ingin mencekik perempuan itu sebelum sebuah suara menginterupsi;
"paman, sudah bertemu assisten barumu?!" suara hangat Itachi sangat kontras dengan aura yang ditimbulkan Madara di dapurnya yang biasanya sepi.
***tbc***
KAMU SEDANG MEMBACA
RIDICULOUS (MADAHINA)
Fanfiction"Kau memang kelinci cilik sialan. Berani benar melanggar perintahku. Mau main-main ternyata?!" Hinata Hyuuga mengkerut di pojokan. Tubuh menjulang Madara memblokir visibilitasnya. Ia mengintip takut-takut sekaligus penasaran. Di sana, Madara, lelaki...