Satu hari saja! Madara mengerang, bibirnya tertekuk sempurna. Dan ingin segera mengenyahkan eksistensi Hinata yang seperti sekarang.
Tertidur dengan pulas di sofa ruang tamunya.
Madara mendesah keras, ia melihat jam tangannya. Jam dua belas malam. Dan ide mengusir kelinci cilik serta membiarkannya berkeliaran di jalan sama saja mencelakai diri sendiri. Biar bagaimanapun, Hinata bekerja dengannya.
Biar begitu kesal, hati nuraninya masih juga tak tega.
Tapi membiarkan si kecil ini menginap? Bukan ide baik.
Madara menarik napas dalam-dalam. Kesal bukan main. Karena sadar tak punya jalan keluar.
Ia ingat, tadi pagi, ia sudah bilang kalau anak itu bisa pulang kalau pekerjaannya selesai. Bagian mana yang kurang jelas?! Ia capek bukan main setelah lembur. Dan bahkan ia hanya makan roti isi. Fan kini harus mengurusi satu mahluk lagi. Hebat sekali!
Ia sudah lupa kalau menyuruh Hinata memasak makan malam. Tapi Madara yakin kalau tadi pagi ia bilang tugas anak itu hanya sampai membuat makan malam. Tapi kenapa anak itu masih di sini?!
Madara memijit pelipisnya. Rambut panjangnya terasa gatal padahal ia sudah keramas tadi pagi. Semua gara-gara kelinci kecil ini.
Menghembuskan napas dengan berat, Madara melemparkan dasinya. Meletakkan tas berisi tablet dan laptopnya dengan hati-hati. Sementara ia segera menggulung lengan kemejanya dan dengan hati-hati memindahkan tubuh Hinata ke dekapannya.
Anak ini kecil, tapi rupanya tak seringan itu. Madara menarik ujung bibirnya karena merasa begitu bodoh sempat-sempatnya memikirkan hal remeh macam itu.
Hinata yang tampak nyaman dengan kehangatan yang baru saja diterimanya, makin menggeliat, merapatkan diri dengan nyamankan posisi, menempelkan pipinya di dada bidang Madara.
Membuat Madara menaikkan alisnya, antara geli sekaligus aneh. Ada sesuatu yang menyelinap di pikirannya yang paling gelap. Mungkin ini rasanya berinteraksi dengan lawan jenis. Sebuah atraksi jantung karena akumulasi percepatan pemompaan darah. Seperti kafein, mungkin tak berasa. Tapi lama-lama bisa adiktif juga.
Rambut Hinata yang lembut dan berbau strawberry bergesekan dengan kemejanya. Menimbulkan sensasi aneh. Madara benar-benar lapar hanya karena bau buah segar yang ia tahu itu hanya pewangi rambut.
Madara menelan ludah ketika bayangan makanan masa kecilnya, kue mochi rasa strawberry terbayang.
Haaahhh... Madara menyerah. Berdekatan dengan Hinata tidak baik bagi otak dan jantungnya.Ia meletakkan di kecil itu di ranjang dengan hati-hati. Hendak menyelimuti gadis itu sebelum Hinata bergerak dengan menekuk badannya. Tampaknya tidurnya makin nyenyak setelah bertemu kasur.
Madara konyolnya tertawa tulus tanpa suara, kali ini ia akan mengampuni Hinata.Dengan perlahan ia menjauh dari kamar tamu. Langkahnya mantap menuju dapur.
Ada beberapa makanan yang disiapkan Hinata yang sudah dingin. Tapi itulah gunanya microwave diciptakan, menghangatkannya. Dan mungkin juga untuk itu Hinata diciptakan, menghangatkan rasa dingin hati dan pikirannya. Satunya berbentuk kotak dan yang satu itu berbentuk oval seperti sebuh telur.
Madara terkekeh lagi mengingat kekonyolan dirinya sendiri. Lucu, ia senang tidak sendirian sekarang.
***TBC***
Syudah dingin, tapi kalian bisa hangatkan dengan cinta berupa vote dan komenan 😁😁😁😈😈😈🔥🔥🔥
Salam sayang;
Poo yang baru aja bangun tidur dan mau tidur lagi 😂😂😂Bales komen di bab kemarin sama bab ini besok ya. Doakan aku bangun pagi.
Btw, aku flu.
Sekian.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIDICULOUS (MADAHINA)
Fanfiction"Kau memang kelinci cilik sialan. Berani benar melanggar perintahku. Mau main-main ternyata?!" Hinata Hyuuga mengkerut di pojokan. Tubuh menjulang Madara memblokir visibilitasnya. Ia mengintip takut-takut sekaligus penasaran. Di sana, Madara, lelaki...