Netra kami saling pandang hingga beberapa detik. Mata elang dengan alis tebal itu begitu tajam menatap hingga aku kelimpungan, seolah tatapannya mengisyaratjan bahwa ia tak mau kalah dariku.
Hmm, awas kamu bocah. Batinku bergumam, lalu memberanikam diri untuk menatapnya balik. Sengaja aku melotot sekalian hingga alis ini menukik ke atas, dan akhirnya ... Kamil menunduk. Yes, kalah kamu Kamil.
"Saya tunggu suratnya, Bu." Singkat ia berucap setelah mengembuskan napas pelan.
Luar biasa tenang Kamil menghadapi situasi seperti ini. Kalau murid lain mungkin sudah berontak, tapi tidak dengan dia. Ada sedikit pikiran untuk menurunkan ego, menanyakan penyebab perubahan pada dirinya.
Hanya saja, mengingat tingkahnya yang akhir-akhir ini begitu menyebalkan, aku pun mengurungkan niat. Kembali menarik napas secara perlahan sembari memejamkan mata. Memastikan bahwa pasokan oksigen ke rongga dada ini cukup sebab menghadapi bocah macam dia yang mungkin akan membuatku gelagapan dan sesak napas.
"Orang memang hobi nilai luarnya doang, ya, Bu. Ya ... macam Bu Jihan gini deh, jadi malah terkesan tidak bijak."
Sial! Skakmat. Beraninya ini bocah bilang begitu. Baiklah, mungkin itu kode jika dia ingin ditanya penyebab perubahannya. Baiklah Kamil, demi tugas sebagai walikelas, aku mengiyakan.
"Ehm, kenapa akhir-akhir ini kamu sering terlambat dan bahkan tidak masuk tanpa mengabari saya? Poin kamu sudah mencapai 30, maka SP 1 wajib saya keluarkan."
Kamil malah mengalihkan pandangan, mulutnya tampak bergerak seperti mengunyah. Dia diam, tak menjawab pertanyaanku.
"Kamil?"
"Saya tidak bisa cerita sama Ibu, maaf. Besok saya ajak orang tua saya memenuhi panggilan."
Kamil mengambil tangan kananku dan menciumnya dengan takzim. Dia segera berlalu dari ruang BK, dengan membawa surat panggilan tersebut.
Sedikit kuceritakan tentang Kamil. Namanya Kamil Alfarizy. Siswa kelas XII IPS 1. Anaknya aktif, cerdas, ramah. Sebelumnya dia menjabat sebagai ketua osis. Setelah akhirnya, ada siswa lain yang berhasil menggulirkan dia dari jabatannya.
Aku sudah mengenalnya sejak dia masih kelas X. Dulu, dia adalah siswa kesayangan setiap guru, Karena, selain cerdas dan ramah, Kamil juga memiliki paras yang cukup manis dan dewasa untuk anak seusianya.
Baru hendak keluar dari ruang BK. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan Bondan, si perjaka tua yang selalu mengakui bahwa dirinya itu tampan.
Si Bondan itu menghampiriku dengan tangan yang tak henti mengelus perut, memperlihatkan perut buncitnya, dan mata yang berkedip cepat membuatku jijik. Dia menyapaku, "Halo Ibu Jihan yang cantik, manis, dan seksi. Sedang apa di sini?"
"Minggir kamu, Dugong!"
"Bu Jihan, tiap hari marah-marah teyus. Nanti jadi perawan tua looch."
"Kayak lo ga perjaka tua aja, Dugong?"
Aku bergegas pergi, rasanya malas berhadapan dengan lelaki menyebalkan ini. Bukan masalah fisik, tapu sikap menjijikannya. Sama sekali tidak mencerminkan dia seorang guru. Tak heran kalau banyak murid yang menertawakannya. Nggak ada wibawanya sama sekali.
"Bu Jihan, i love you!" Teriakan itu bahkan terdengan hingga sepanjang koridor sekolah.
Sepuluh langkah meninggalkan ruang BK, aku pun terpeleset. Ah stilettoku sayang, kenapa kamu mempermalukan aku? Untung sedang tidak ada siswa yang lewat. Jika ada? Seorang Jihan yang berwibawa harus jatuh karena terpeleset? Memalukan.
Aku kembali berdiri, merapikan kembali baju dan cepolku yang sedikit berantakan akibat insiden barusan. Berjalan menuju ruang guru, dengan sedikit dagu terangkat, dan bokong yang bergoyang bagai pasukan itik yang sedang diangon.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Student (Sudah Terbit)
Teen FictionTerkadang cinta memang tidak memandang usia dan status. Seperti cinta antara seorang guru dan siswa yaitu, Jihan dan Kamil. Sosok Kamil yang muda dan dewasa berhasil menggait hati Jihan, seorang guru sekaligus wali kelasnya, yang usianya terpaut del...