Part 4 Satu jeweran untuk kamu

2K 106 0
                                    

*Alarm berbunyi*

"Uoooohhhhh." Bangun pagi ini terasa berbeda, tidurku sangat pulas, tanpa kendala insomnia. Mataku terpejam menikmati pancuran air di pagi hari. Tidak sampai tiga puluh menit, aku keluar dengan kamar mandi menggunakan kimono handuk bergambar hello kitty.

Kring ... kring ...
Ponselku berbunyi, Kamil memanggil.

["Ya."]
["Assalamu'alaikum, Bu Jihan."]
["Wa'alaikumussalam. Ada apa, Mil"]
["Saya mau memberi kabar, Bu. Bahwa orang tua saya kembali ke Jakarta hari ini, dan bisa menemui Ibu sekitar jam 1 siang."]
["Oke, saya tunggu."]

Aku mematut diriku di hadapan cermin, sambil menyisir rambut, mencoba mengingat reka adegan semalam. Di mana Kamil menangkap tanganku ketika hampir terjatuh. Saat peristiwa itu berlangsung, jantungku berdebar tak karuan.

Kutepis perasaan tersebut, harus sadar diri. Aku saja yang telah terbawa arus, Kamil hanyalah siswa, dia tak mungkin benar-benar menggodaku. Hari ini kumantapkan hati untuk menyelesaikan kasusnya, dan semoga pertanyaanku terjawab. Mengapa Kamil tak seteladan dulu, dan mengapa aku sempat melihatnya menjadi pelayan padahal dia anak orang menengah ke atas?

Hem berwarna marun dengan rok rimpel berwarna cokelat tua menjadi tema pakaian yang kugunakan hari ini. Dengan rambut hitam panjang terurai, dan sepatu pantofel hitam, aku siap mengajar hari ini.

Baru saja hendak mengeluarkan mobil, tiba-tiba kulihat ban mobil bocor. 'Ah, sungguh ini bukan hari keberuntunganku.' Segera kuraih ponselku dan memesan pengemudi ojek online. Tidak sampai lima menit, pengemudi itu datang.

Baru setengah perjalanan, motor pengemudi ojek ini mogok. Sangat di luar dugaan, aku menghembuskan nafas kasar, rasanya bulan ini aku cukup terlampau sering telat, tidak enak rasanya.

"Duh, Mbak. Maaf sekali, saya ngga tau bisa begini, padahal sudah diservis kemarin."
"Ya sudah, Pak. Saya cari ojek lain."

Aku berjalan ke pinggir trotoar, dan mencoba mencari pengemudi baru, ternyata sulit sekali didapat. Perasaan rasanya sudah campur aduk, takut, rasa ngga enak dengan atasan, tidak enak dengan siswa bila terlambat. Dalam keresahan aku berdo'a, "Andai ada lelaki ganteng dan lajang nawarin aku tumpangan, mungkin saja dia jodohku, siapa tahu ini waktunya seluruh do'aku terkabul."

Tak lama kemudian, sebuah motor gede menghampiriku. Lelaki tersebut membuka kaca helmnya perlahan.

"Bu, tumben ngga bawa mobil?" tanyanya. Mataku terbelalak, "Kamil? Eh ... ehm ... ban mobil kempes, terus tadi naik ojek eh mogok."
"Ya sudah sama saya aja, Bu."

Aku hanya bisa melongo tanpa ekspresi, entah apa yang telah direncanakan Sang Pencipta, ketika aku baru saja berdo'a meminta jodoh lewat orang yang berbaik hati memberikan tumpangan, justru Kamil adalah jawaban dari ucapanku tadi. Apakah ini sebuah kebetulan atau ... ah tak mungkin, di mana harga diriku jika berjodoh dengan brondong yang merupakan siswaku sendiri.

"Bu, bagaimana?"
"Ya sudah, jika kamu memaksa," jawabku santai.
"Siapa yang memaksa bu? Kalau ibu ngga mau ya saya tinggal jalan lagi nih."
"Eh jangan dong, nanti kalau ibu telat bagaimana?"

Aku menaiki motor gedenya, kami diam seribu bahasa. Lima menit berlalu, Kamil mulai membuka suara, dia berkata, "Bu, pegang ransel saya ngga apa-apa, dari pada nanti jatuh. Saya ngga mau dikeluarkan dari sekolah karena membuat guru jatuh dari motor."

Seketika adrenalin terpacu lebih kuat, debaran jantung ini tidak seperti biasanya. Tubuhku tegang, tanganku yang sedari tadi pegangan jok motor pun sudah dingin. Tidak karuan rasanya hati ini, berharap segera sampai sekolah, lalu pergi menjauhinya. Terpaksa kupegang pinggangnya, habis bagaimana, dia yang meminta.

My Lovely Student (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang