Hari yang kunanti telah tiba. Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim. Ayah menggandengku berjalan menuju pelaminan, rasa luar biasa haru merasuk ke dalam jiwa. Sementara di sana, Aiden dan ibunya berjalan ke arahku dengan senyum sempurna. Hari ini adalah hari dua hati disatukan dalam suatu mahligai pernikahan, penuh doa nan khidmat.
Tak ada satu pun yang tak bahagia di sini, Aiden tak henti-hentinya menatapku dengan senyuman terindahnya. Seakan menjelaskan bahwa dia bahagia karena bisa memilikiku. Kami menyalami para tamu undangan, sesekali berfoto.
"Han, kamu lapar?" tanya Aiden.
Aku mengangguk senyum, Aiden segera turun dari pelaminan menuju meja prasmanan mengambil makan.
"Selamat, ya, Bu."
Aku yang masih menunduk tak langsung mengangkat kepala. Sangat hafal betul itu suara siapa. Perlahan kuangkat kepala dan berdiri menyalaminya.
"Terima kasih, Kamil."
Aiden yang membawa dua piring makanan pun naik ke atas pelaminan kembali, dan menyapa Kamil.
"Hey, Mil. Makan sana makan," ujar Aiden.
"Pak, Bu. Saya bawa kado yang gede nih."
"Ah, repot-repot kamu Kamil."
Tampak dia membawa bungkusan yang memang besar sekali, lalu tersenyum. Tak mengisyaratkan beban di hatinya. Dia pergi menuju meja prasmanan, tentunya untuk mengisi perut. Aku memperhatikannya dari jauh, ingin menangis, tapi kutahan. Walau bagaimana aku tak mau menyakiti Aiden.
Kami saling suap di bawa pelaminan minimalis bertema warna baby pink dan silver. Beberapa kali Kamil mengambil foto kami dengan berbagai macam pose, dan beberapa kali juga dia ikut berpose bersama kami.
"Bu, Pak. Saya pulang dulu, semoga langgeng rumah tangganya," ujar Kamil diiringi senyum terbaiknya.
"Makasih, Mil. Makasih banget," ucap Aiden sembari memeluk remaja manis tersebut.
* * *
Ini malam pertama dengan Aiden. Sedangkan aku masih sibuk di depan laptop. Merekap data-data siswa yang memasuki universitas swasta, negeri, atau bahkan kerja. Aiden tampak bolak-balik sambil berdehem."Han ... yang benar aja dong, malam pertama kamu malah buka laptop." Aiden merengut kesal.
Aku tersenyum, saat galau kemarin tugasku memang terbengkalai karena nangis terus. Wajah Aiden tampak cemberut, ternyata dia lebih kekanak-kanakan kalau sedang merajuk.
* * *
Tak terasa, pernikahan kami berlangsung seminggu. Aiden semakin menunjukkan sikap baiknya sebagai suami."Sayang, ayo. Keburu telat," ujar Aiden.
Kami menempati rumah yang sejak dulu kutinggali, Aiden yang melanjutkan cicilannya. Aiden adalah suami yang baik, dan sangat penyayang. Adakah rasa menyesal dalam hati karena menikah dengannya? Jawabannya tidak.
"Sebentar, ya, Sayang."
Melihat istrinya lelet, Aiden tampak kembali turun dari mobilnya lalu membopongku memasuki mobil.
"Lelet sekali kau, istriku. Kayak keong."
"Keong racun, ya, Den?"
"Iya racun, racun yang membuatku mabuk kepayang," jawabnya seraya mencium keningku.
Aiden dan Widya menjadi panitia penilaian akhir semester genap, sedangkan aku bertugas mengawas. Bel pun dibunyikan, suara stiletto yang bertabrakan dengan lantai menambah kesan horor untuk seorang pengawas.
Beberapa siswa teriak, "Wuaduh ... yang ngawas Bu Jihan."
Aku memasuki ruang 3.20. Ruang ini dulunya adalah kelas Kamil. Kalian tahu apa yang aku rasakan? Terasa berada si suasana kelas XII IPS 1 angkatan Kamil, dengan suasana yang sama. Semua masih terngiang di benak. Tempat duduk Anjungan, Bokir, Cuplis, Dekil, dan Kamil. Masih sangat kuhafal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Student (Sudah Terbit)
Teen FictionTerkadang cinta memang tidak memandang usia dan status. Seperti cinta antara seorang guru dan siswa yaitu, Jihan dan Kamil. Sosok Kamil yang muda dan dewasa berhasil menggait hati Jihan, seorang guru sekaligus wali kelasnya, yang usianya terpaut del...